KULIHAT IBU PERTIWI SEDANG BERSUSAH HATI (PERBANDINGAN ANTARA KISAH NYAI ONTOSOROH DAN JANDA DI NAIN)

[pl_row 0=””]
[pl_col col=”12″]
[pl_text 0=”” ele_bg_hover_delay=”400″]

Beberapa waktu yang lalu, saya menonton film Bumi Manusia di sebuah bioskop. Saya sangat terkesan dengan film yang saya anggap bagus itu. Kemarin, berhubung saya harus melewati suatu perjalanan panjang yang memakan waktu lama, saya putuskan untuk membaca novel karya Pramudya Ananta Toer yang menginspirasi pembuatan film tersebut. Novel yang berjudul sama dengan film tadi selesai saya baca tadi pagi. Pada pagi yang sama, saya memimpin perayaan Ekaristi dengan inspirasi permenungan dari kisah seorang janda di Nain. Meskipun kisah Janda di Nain tidak saya baca (karena saya sudah tahu ceritanya), ternyata permenungan tentangnya justru berhasil saya buat atas inspirasi dari novel Bumi Manusia. Dua Ibu Janda dalam Krisis Kehidupan Dalam novel Bumi Manusia diceritakan kisah tentang tokoh Sanikem. Ayahnya, Sastrotomo, adalah seorang juru tulis yang berambisi untuk menjadi juru bayar. Hampir segala cara telah dilakukannya untuk mewujudkan ambisi ini, tetapi tidak berhasil. Akhirnya, ia mengambil jalan pintas dengan menjual Sanikem, anaknya sendiri, seharga 25 gulden, kepada atasannya, seorang Belanda yang bernama Herman Mellema.Herman Mellema adalah seorang suami yang telah meninggalkan istrinya karena ia menduga bahwa istrinya telah berbuat serong.Kemudian ia merantau dari Belanda dan mencari peruntungan di Hindia Belanda. Awalnya, ia bekerja sebagai seorang pejabat di Pabrik Gula Tulangan, sebagai atasan Sastrotomo. Setelah “membeli” Sanikem, ia menjadikan wanita tersebut sebagai gundik, wanita simpanan, partner kumpul kebo, perempuan yang dijadikan rekan hidup tanpa pernah dinikahi secara sah. Karena tidak pernah dinikahi secara sah, Sanikem tak pernah disebut Mevrouw (nyonya), melainkan disebut Nyai. Meskipun hubungan mereka tidak sah di mata hukum, kehidupan keluarga mereka ternyata harmonis. Herman mengajarkan banyak hal tentang membaca, menulis, berhitung, bahasa dan cara hidup Eropa kepada Sanikem dan Sanikem pun menangkapnya dengan baik. Mereka pun memiliki sepasang anak yang diberi nama Robert Mellema dan Annelies Mellema. Keluarga ini pun kemudian menempati suatu tanah luas yang mereka beli dan digunakan untuk pertanian, peternakan dan perusahaan sapi perah. Tempat itu mereka sebut Boerderij Buitenzorg. Berhubung masyarakat setempat tak mampu menyebut nama itu dengan mudah, maka tempat itu mereka lafalkan sebagai “Ontosoroh” sehingga Sanikem pun akhirnya disebut Nyai Ontosoroh. Keluarga Mellema pada awalnya hidup harmonis. Masalah mulai datang lewat kehadiran singkat seorang yang bernama Insinyur Maurits Mellema yang ternyata adalah anak sah antara Herman Mellema dengan Amelia Mellema Hammers. Maurits datang dan memprotes ayahnya atas sikap sang ayah yang membiarkan ibunya bekerja sendirian dan membesarkan anaknya sambil mengabaikan status perkawinan mereka, sementara di perantauan ternyata ayahnya telah hidup tanpa ikatan perkawinan sah dengan seorang wanita pribumi. Herman tak berbuat banyak, mungkin karena ia merasa bersalah. Sejak itu ia mulai stress dan melarikan diri dalam kemabukan. Terpaksa, Nyai Ontosoroh yang mengurus perusahaan, bahkan sampai Herman meninggal di rumah pelacuran karena keracunan.Setelah Herman meninggal, keadaan semakin kacau. Robert, anak laki-lakinya, ternyata ada di rumah pelacuran yang sama dengan tempat kematian ayahnya. Kemungkinan ia terlibat dalam pembunuhan ayahnya, namun hal itu tak bisa dibuktikan di pengadilan karena Robert melarikan diri dan tak diketahui keberadaannya. Masalah menjadi semakin rumit dalam kaitan dengan pengelolaan aset yang diwariskan oleh Herman Mellema. Pengadilan kolonial memutuskan bahwa seluruh aset Herman akan diberikan kepada Maurits Mellema, anak sahnya. Sementara itu, Annelies Mellema dianggap belum cukup umur untuk mengelola warisan, sehingga ia harus dibawa ke Belanda untuk diasuh di bawah bimbingan Maurits. Padahal Annelies sudah menikah dengan seorang bangsawan, putera seorang bupati di Jawa Timur, yang telah mencicipi pendidikan Eropa dan dipanggil Minke oleh teman-temannya. Pada akhirnya, nasib malang dialami Nyai Ontosoroh. Ia kehilangan anak-anaknya. Ia pun kehilangan perusahaan yang dikelolanya. Ia harus terbuang tanpa apa-apa, seperti besi tua yang dibiarkan hancur tanpa sisa. Itulah sepenggal kisah Nyai Ontosoroh, sang janda dalam novel Bumi Manusia.Janda di Nain kisahnya tak sepanjang Nyai Ontosoroh. Kisah janda ini diceritakan dalam Injil Lukas 7: 11-17. Tidak disebutkan siapa nama janda ini dan bagaimana pengalaman hidupnya. Yang diceritakan di sana hanyalah bahwa janda ini sedang berduka karena kematian putera tunggalnya. Sambil memperhatikan kebiasaan setempat pada masa itu, sebenarnya bisa diendus adanya krisis besar dalam kehidupan sang janda.Menurut kebiasaan perkawinan di sana pada masa itu, seorang lelaki adalah kepala keluarga. Saat ia mempersunting seorang wanita, ia harus memberi mahar atau mas kawin kepada keluarga wanita agar dapat “membeli” dan memboyong sang wanita ke rumah suami. Di rumah suami, wanita itu memang diperlakukan sebagai istri, tetapi ia tak memiliki hak untuk mengambil keputusan dan tak memiliki hak waris. Sang janda pasti pernah melewati tahap ini saat ia berkeluarga. Sayangnya, ia sudah menjanda. Diandaikan saja, suaminya telah meninggal. Keadaan ini sebenarnya cukup menyiksanya, karena ia bisa saja disingkirkan dari rumah keluarga suaminya. Syukurlah, ia masih memiliki seorang anak laki-laki, darah daging dan ahli waris sang suami, yang memungkinkannya diterima di rumah keluarga sang suami. Sayang sekali, anak laki-laki tadi sudah meninggal, sehingga keadaan menjadi semakin kritis karena peluang untuk diusir dari rumah sang suami dan ditolak di rumah sendiri menjadi semakin besar. Dalam hal ini, tampaknya nasib sang janda di Nain hampir tak jauh beda dengan nasib Nyai Ontosoroh.Akhir Sedih dan Akhir BahagiaNasib Nyai Ontosoroh yang mengakhiri novel Bumi Manusia ternyata menyedihkan. Seluruh usahanya bersama Minke untuk menyelamatkan situasi, ternyata tidak membuahkan hasil. Hukum kolonial ternyata memang kaku, berstandar ganda, diskriminatif dan menindas kaum pribumi. Begitulah bentuk keadilan tanpa cinta kasih. Tak heran, lagu Kulihat Ibu Pertiwi yang dinyanyikan oleh Iwan Fals pada akhir film Bumi Manusia sungguh memperkuat kesan kesedihan yang mengakhiri kisah. Pada akhir cerita, nasib sang janda di Nain justru berbeda dengan nasib Nyai Ontosoroh. Sang janda di Nain berhasil melewati krisis kehidupannya berkat campur tangan Yesus yang mengubah keadaan. Memang benar, sang janda di Nain sempat loyo dan putus asa, tetapi perhatian Yesus mengubah situasi. Saya pun teringat kutipan komentar dosen saya tentang kisah ini, “IMAN yang menjadi JOMPO dan HARAPAN yang MATI, kini DIPULIHKAN karena SENTUHAN CINTA KASIH.” Komentar ini pun mengingatkan saya kepada ucapan Jean Marais, sahabat Minke dalam novel Bumi Manusia, “Cinta itu indah, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya.” Dengan kata lain saya boleh merumuskan begini, “Sekalipun akibat yang membuntuti cinta itu adalah pengorbanan yang sering dianggap membawa kebinasaan, cinta tetaplah indah.” Dalam kisah Janda di Nain, cinta yang indah adalah cinta yang membuat orang-orang sungguh merasakan bahwa “Seorang nabi besar hadir di tengah-tengah kita dan Allah telah mengunjungi umatNya.”

[/pl_text]
[/pl_col]
[/pl_row]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.