JEMBATAN UNTUK JURANG YANG TAK TERSEBERANGI
Tiga tahun yang lalu saya ditahbiskan menjadi seorang imam Katolik. “Usia” 3 tahun tentu masih jauh dari usia yang dianggap “dewasa.” Jika dibandingkan dengan perkembangan seorang anak manusia, anak yang berusia 3 tahun paling-paling masih merupakan anak ingusan yang cengeng dan butahuruf; masih suka ngompol, pekerjaannya hanya bermain-main dll. Karena itu, jika ada yang mengatakan bahwa keadaan saya dalam usia 3 tahun imamat ini tidak jauh berbeda dengan keadaan di atas, sebaiknya tidak perlu ada yang merasa tersinggung, malah seharusnya memakluminya.
Pada tanggal 29 September tiga tahun yang lalu, saya ditahbiskan sebagai imam tepat pada Pesta Para Malaikat Agung. Karena itu tak mengherankan jika saya sering dituntun untuk merefleksikan imamat dalam kaitan dengan sosok malaikat, yakni mahkluk yang tak memiliki sayap tetapi bukan burung (mohon jangan dibalik menjadi sosok “burung” yang tidak memiliki sayap). Meskipun demikian, berhubung pada tahun ini tanggal 29 September jatuh pada hari Minggu, maka Pesta Para Malaikat Agung tidak dirayakan, sehingga penuntun refleksinya pun “terpaksa” mengikuti sosok yang ditampilkan sesuai Injil hari Minggu yang bersangkutan (Luk 16: 19-31). Kebetulan sosok yang ditampilkan oleh Injil hari Minggu tanggal 29 September 2019 ini adalah sosok seorang kaya, Lazarus yang miskin dan Abraham yang mereka temui di akhirat. Saya akan berusaha membagi refleksi saya tentang pergaulan ketiga tokoh ini sambil berusaha mengaitkannya dengan gambaran seorang malaikat sebagai suatu kado pribadi untuk ulang tahun tahbisan imamat saya pada tahun ini.
Perumpamaan tentang Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin
Kisah injil menampilkan suatu perumpamaan yang tak lain adalah sebuah cerita bermakna. Di bagian awal ditampilkan dua orang dengan karakter yang berseberangan. Tokoh pertama adalah seorang kaya yang selalu menampilkan kemewahan dalam hal pakaian dan makanan. Tokoh ini diperlawankan dengan seorang yang bernama Lazarus, yang adalah seorang pengemis miskin berpenampilan buruk lewat boroknya yang dijilat anjing. Setelah mereka meninggal, nasib mereka ternyata berbeda di akhirat. Secara sederhana, si kaya ditempatkan di neraka sementara Lazarus ditempatkan di surga. Apakah Lazarus masuk suga karena ia miskin? Belum tentu! Sebaliknya, apakah si kaya masuk neraka karena ia kaya? Ya belum tentu juga! Yang jelas, jika diceritakan bahwa si kaya masuk neraka, hal itu pasti terjadi karena ia berdosa. Lantas apa dosanya? Tidak diceritakan bahwa ia memperoleh kekayaannya secara tidak halal. Tidak diceritakan pula bahwa ia memanggil polisi untuk mengusir Lazarus. Ia pun tidak pernah menendang Lazarus saat memungut sisa-sisa makanan dari mejanya. Ia juga tidak menyuruh anjing untuk menggigit Lazarus setelah anjing itu menjilati boroknya. Lihat, IA TIDAK PERNAH MELAKUKAN semuanya itu! Nah JUSTRU KARENA IA TIDAK MELAKUKAN APA-APA TERHADAP LAZARUS, KARENA ITULAH IA MASUK NERAKA. Kenyataan ini sebenarnya mengingatkan kita yang merenungkan perumpamaan bahwa dosa tidak hanya terjadi karena orang berbuat sesuatu (misalnya: mencuri, merampok, melakukan kekerasan dll). Dosa ternyata bisa juga terjadi saat orang tidak berbuat apa-apa untuk memperbaiki keadaan. Itulah dosa si kaya, itulah dosa yang disebut dosa kelalaian, suatu kategori yang selalu disebutkan dalam doa “Saya Mengaku.”
Perbedaan Nasib di Akhirat
Saat kedua tokoh utama dalam perumpamaan ini mencapai akhirat, diceritakan bahwa ada tokoh lain yang dimunculkan. Tokoh baru itu adalah Abraham. Menurut seorang mahaguru bahasa-bahasa kitab suci, nama tokoh ini memiliki arti dalam Bahasa Ibrani. “Ab” artinya bapak dan “Ram” (yang dieja sebagai Raham), artinya luhur atau tinggi. Karena itu tidak mengherankan bahwa tokoh ini ditempatkan di tempat yang tinggi, sehingga si kaya melihatnya berada di atas, di ketinggian, saat tokoh ini sedang memangku Lazarus. Dalam perjumpaan tersebut, si kaya sebenarnya mengenal Lazarus, tetapi ia hanya mau berkomunikasi dengan Lazarus melalui Abraham, karena baginya, Lazarus hanyalah pesuruh dan bahkan ia mau menganggap Abraham sebagai pesuruh, karena mungkin ia berpikir bahwa semua orang adalah pesuruh baginya.
Jembatan untuk “Jurang yang Tak Terseberangi”
Di dalam percakapan antara si kaya dengan Abraham yang memangku Lazarus, terungkap bahwa di antara si kaya dan Abraham (bersama Lazarus) ada suatu jurang yang tak terseberangi. Saya kadang bertanya di dalam hati, “Memangnya di akhirat ada jurang?” Ya entahlah, saya juga belum pernah ke sana, saya tidak tahu. Yang saya tahu dengan pasti, di dunia ini ada jurang antara orang kaya dan orang miskin. Jurang tersebut kadangkala terasa tak terseberangi mungkin bukan karena jurang itu lebar, tetapi mungkin karena tak ada jembatan yang menghubungkan di atasnya. Nah, inilah buah permenungan pribadi dari perumpamaan ini. Agar tak ada lagi jurang antara si kaya dan si miskin, perlu ada keberanian dan usaha untuk menghubungkan kedua pihak itu, agar orang miskin tetap merasa beruntung sedangkan orang kaya tidak menjadi buntung karena kekayaannya. Untuk bisa sampai ke sini, orang bisa memulainya dengan merenungkan arti kata Lazarus. Lazarus adalah nama Yunani untuk Eleazar yang berarti “Tuhan menolong.” Pemahaman atas nama ini mengajak orang untuk berani mengandalkan Tuhan, tidak mudah menyerah, tidak sombong dan takabur sehingga setiap orang (entah kaya atau miskin) bisa merasa bahwa ia tetap layak hidup karena ia mampu memberi kontribusi bagi kebaikan dalam kehidupan bersama. Dari situlah perlahan-lahan akan terbangun jembatan yang menghubungkan si kaya dan si miskin di dunia ini dan bahkan di dunia nanti. Orang yang mampu menjembatani jurang antara si kaya dan si miskin, dia telah mengambil peran sebagai seorang malaikat yang “melayani rencana keselamatan Allah bagi manusia” (bdk. Yoh 1: 51). Di sini, saya teringat isi tulisan Pramudya Ananta Toer dalam Novel Anak Semua Bangsa, “Di manapun ada iblis bermuka malaikat dan malaikat bermuka iblis, dan satu yang tetap abadi: yang kolonial (baca: penindasan), dia selalu iblis; sampai akhir zaman, tetap selalu iblis. Kau dibenarkan berbuat apa saja terhadapnya kecuali bersekutu dengannya.” Dari kutipan ini, marilah melihat, kita tergolong sebagai apa: iblis bermuka malaikat, malaikat bermuka iblis, iblis bermuka iblis atau malaikat bermuka malaikat?
Moin OCD
thank you.
Your welcome.
thank you for your support.