TAHUN SAN JUAN

Seri San Juan de la Cruz (Oleh P. Abdul, OCD) :

TEMA-TEMA FUNDAMENTAL SANTO YOHANES DARI SALIB

KEMALASAN ROHANI

Yohanes dari Salib melihat kebiasaan ini sebagai bagian dari tujuh dosa pokok, yang menandakan, menurutnya, situasi dari para pemula dalam hidup rohani mereka. Bagi Santo ini, kemalasan sama dengan kebosanan terhadap hal-hal spiritual karena mereka merasa tidak puas dengan sesuatu yang tidak masuk akal. Seperti cacat-caat rohani lainnya, kelemahan ini harus dihilangkan dengan cara pemurnian dalam malam pasif dari indera-indera.

Seperti biasanya, diagnosanya terutama tentang kemalasan rohani berkaitan dengan kemampuannya untuk masuk dalam situasi hidup para pemula. Bagi Yohanes dari Salib, para pemula, “juga sehubungan dengan kemalasan rohani, biasanya menjadi bosan dalam latihan-latihan yang lebih rohani dan mereka ingin menghindarinya, sebab latihan-latihan ini berlawanan dengan kepuasan inderawi. Oleh karena mereka sudah biasa menjadi bosan bila hal itu tidak ditemukan” (Malam Gelap atau M 1,7,2).

Kemalasan tidak sepenuhnya dapat diidentifikasi (arti malas dalam tradisi rohani kuno: kelambanan atau kebosanan); maka kelambanan dan kebosanan adalah buah hubungan antara kerakusan dan kemalasan rohani (M 1,6,2: Tingkatan Kesempurnaan: 14). Sebuah contoh yang menggambarkan dengan baik fenomen khas ‘kemalasan’ adalah: “Jika mereka tidak mendapat kepuasan dalam doa-karena bagaimanapun pantaslah Allah menolak untuk menguji mereka; mereka tidak ingin kembali kepadanya atau kadangkala meninggalkan doa atau melakukannya dengan menggerutu. Oleh karena kemalasan, mereka menempatkan jalan menuju kesempurnaan (yang menuntut penyangkalan kemauan dan kepuasan diri demi Allah) lebih rendah dari kesenangan dan kenikmatan kehendak sendiri. Akibatnya, mereka berupaya memuaskan kehendak sendiri lebih daripada kehendak Allah “(M 1,7,2)

Efek yang paling merusak dari ‘kemalasan’ adalah ingin menggantikan kehendak Tuhan dengan kehendaknya sendiri, tentu saja keinginan ini mengganggu rencana ilahi. Dosa pokok ini, dapat dijelaskan secara ringkas demikian: “Banyak di antara para pemula ingin Allah menuruti keinginan mereka dan menjadi sedih bila mereka harus mengikuti kehendak Allah. Mereka merasa dongkol menyesuaikan kemauan mereka kepada kehendak Allah. Maka mereka sering yakin bahwa, yang bukan kehendak mereka atau yang tidak membawa kepuasan bagi mereka, bukanlah kehendak Allah. Di pihak lain, jika mereka dipuaskan, Allah pun dipuaskan. Mereka menilai Allah dengan ukuran mereka dan bukan menilai dirinya dengan ukuran Allah” (M 1,7,3).

Sahabat dari kemalasan adalah kesedihan dan kejijikan terhadap hal-hal yang menuntut upaya. Katanya: ‘para pemula juga bosan bila disuruh mengerjakan apa yang tidak menyenangkan. Karena mereka hanya mencari kepuasan dan kenikmatan rohani, maka mereka sangat pengecut dalam hal keberanian dan perbuatan yang dituntut oleh kesempurnaan. Sama seperti orang-orang yang dibesarkan dalam kemewahan, mereka dengan sendiri melarikan diri dari apa saja yang kasar dan mereka tersandung oleh salib, di mana dapat ditemukan kekuatan rohani. Makin banyak latihan rohani, makin bosan mereka. Karena mereka berharap giat dalam hal-hal rohani sesuai dengan hasrat dan kepuasan kehendak mereka sendiri, maka masuk melalui jalan kehidupan yang sempit (Mat 7:14) yang dikatakan Kristus, adalah hal yang menyedihkan dan mendongkolkan bagi mereka (M 1,7,4).

Dari diagnosa atau analisa ini, mudah bagi Yohanes dari Salib menawarkan obat yang tepat. Obat terbaik melawan kemalasan dan kerakusan spiritual adalah Kekeringan (sequedad) melalui pemurnian malam pasif. Melalui kekeringan spiritual itu “jiwa juga dibersihkan dalam kekeringan nafsu-nafsu ini dan jiwa mendapat kebajikan yang bertentangan dengan dosa-dosa ini. Dilunakkan dan direndahkan oleh kekeringan dan kesulitan dan oleh godaan dan cobaan lain, yang dengannya Allah melatih jiwa selama malam ini, orang menjadi lembut terhadap Allah dan diri sendiri dan juga terhadap sesama. Akibatnya, ia tidak lagi menjadi kurang sabar dan marah kepada diri sendiri dan kesalahan-kesalahannya, demikian pula kepada kesalahan-kesalahan orang lain. Ia juga menjadi kurang berkenan atau bersungut-sungut kepada Allah atas cara kurang hormat, karena Allah tidak segera menjadikan dia sempurna” (MG 1,13,7)

Berikut adalah pencapain pemurnian melalui kekeringan rohani: “kemalasan dan kebosanan yang ia rasakan di dalam hal-hal rohani tidak seburuk seperti sebelumnya. Sebelumnya, kemalasan ini merupakan akibat dari kepuasan rohani yang atau ia nikmati atau ia coba peroleh bila tidak dialami. Namun kebosanan ini tidak berasal dari satu kelemahan yang berkaitan dengan kepuasan indera, karena dalam pembersihan nafsu ini Allah mengambil dari jiwa semua kepuasannya” (M 1,13,9).

Maksudnya jelas, saat jiwa kering dari semua kemalasan rohani, Allah dapat mencurahkan rahmat baru bagi jiwanya. Dalam pengertian yang lebih luas, Kekeringan kemalasan rohani adalah kondisi jiwa bebas dari belenggu kemalasan atau tanpa ikatan dari pengaruh rasa malas terhadap indra-indra.

Apa yang terjadi pada Malam Gelap adalah tindakan katarsis dari Allah. Kata katarsis ini diungkapkan pertama oleh para filsuf Yunani, yang merujuk pada upaya ‘pembersihan atau penyucian diri, pembaharuan rohani dan pelepasan diri dari ketegangan. Selanjutnya dalam tradisi kristen diperluas maknanya menjadi pembaharuan mental melalui pemurnian diri (sumber: wikipedia). Tindakan katarsis dari Allah seturut pemikiran santo Yohanes dalam bukunya “Subida” (Mendaki Gunung Karmel: MGK) adalah proses pemurnian jiwa yang terjadi dalam Malam Gelap Pasif, sedangkan dari pihak manusia berupa upaya pribadi (Malam aktif) untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan yang dikuasai oleh rasa atau nafsu tak beraturan, hal tersebut bukanlah kecenderungan yang berasal dari kasih Allah yang sejati.

Pemaparan yang utuh tentang upaya pemurnian itu berhubungan dengan doktrin “Malam” pemurnian terhadap kerakusan dan kemalasan sebagai sebuah risalah tentang sukacita dalam hal-hal moral. Di antara dampak negatif yang dihasilkan, Santo Yohanes tegaskan dalam satu bagian tentang melakukan pekerjaan untuk kesenangan, “ biasanya para pemula tidak melakukan kecuali ketika mereka melihat bahwa rasa dan pujian harus diperoleh; dan seperti yang dikatakan Kristus, mereka semua melakukan ‘videantur ab hominibus’, artinya: mereka lakukan untuk dilihat manusia (Mat 23,5), dan mereka tidak bekerja demi cinta kepada Tuhan” (MGK 3,29,4). Yohanes dari Salib memberi kesimpulan secara tegas tentang efek dari praktik ‘kemalasan rohani” dengan mengulangi kata-kata Yesus: “dan mereka menerima upah mereka”.

Sumber: Eulogio Pacho, diccionario de San Juan de la Cruz, hal. 16-19

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.