YOHANES DARI SALIB: TRANSFORMASI DALAM ALLAH MELALUI CINTA
Seri Karmelit Teresiana
Selain di Toledo (Spanyol), Yohanes dari Salib mengabdikan seluruh pelayanan imamatnya untuk menunjukkan kepada orang-orang jalan menuju persatuan dengan Allah. Terutama penyatuan kehendak manusia dengan yang ilahi, Yohanes menyebut ini ‘persatuan keserupaan’ (‘union of likeness’) karena hal itu menghasilkan keserupaan antara Allah dan pribadi manusia.
“The supernatural union exists when God’s will and the soul’s are in conformity, so that nothing in the one is repugnant to the other. When the soul rids itself completely of what is repugnant and unconformed to the divine will, it rests transformed in God through love.” (Ascent II, 5, 3)
[Persatuan adikodrati ini ada ketika kehendak Tuhan dan kehendak jiwa ber-sesuai-an, sehingga tidak ada satu pun yang menjijikkan satu terhadap yang lainnya. Ketika jiwa melepaskan dirinya sepenuhnya dari apa yang menjijikkan dan apa yang tidak bersesuaian dengan kehendak ilahi, ia bertransformasi dalam Tuhan melalui cinta].
Dua kehendak benar-benar menjadi satu dan “this one will is God’s will which becomes also the soul’s” (kehendak ini adalah kehendak Tuhan yang juga menjadi kehendak jiwa) (A I, 11, 3).
Yohanes menganggap penyatuan dan transformasi ini identik dengan keadaan kesempurnaan dan perkawinan rohani antara seseorang dan Allah. Dia menyamakannya dengan matahari yang bersinar melalui jendela. Ketika jendelanya kotor, orang mudah melihat perbedaan antara jendelanya dan matahari. Tetapi ketika kotoran benar-benar terhapus, jendela dan matahari tidak bisa dibedakan. Tanpa berhenti menjadi kaca jendela, tetap saja itu tampak seperti matahari. Matahari mengubah jendela: jendela menjadi ‘the light of the sun by participation’ (menjadi cahaya matahari melalui partisipasi) (A II, 5, 6-7).
Yohanes juga membayangkan penyatuan seseorang dengan Tuhan sebagai balok kayu yang ditransformasikan ke dalam api. Ketika pertama kali ditempatkan ke dalam api, balok itu jelas terpisah dari api. Tetapi kemudian api itu perlahan-lahan mengeringkan kayu, membuatnya menjadi gelap, dan akhirnya mengubahnya menjadi kayu itu sendiri. Demikian pula, Roh Kudus, Nyala Api Cinta yang Hidup, bekerja dalam pribadi seseorang, secara bertahap memurnikan mereka dan akhirnya mengubahnya menjadi api ilahi (Flame I, 4, 19).
Gambaran-gambaran ini dengan jelas menyampaikan efek psikologis aktual dari persatuan dan transformasi ini ke dalam diri manusia. Bersatu dengan Tuhan tidak menghancurkan fungsi psikologis kita – kemampuan kita untuk mengetahui, mencintai, merasakan, memikirkan, mengingat, menginginkan – tetapi mengubahnya menjadi ilahi. Yohanes menjelaskan:
“Finally, all the movements, operations, and inclinations the soul had previously from the principle and strength of its natural life are now in this union dead to what they formerly were, changed into divine movements and alive to God. For the soul, like a true daughter of God, is moved in all by the Spirit of God, as St Paul teaches in saying that those who are moved by the spirit of God are children of God himself (Rom 8:14).” (Flame II, 34)
[Akhirnya semua gerakan, keberfungsian, dan kecenderungan yang sebelumnya dimiliki jiwa dari prinsip dan daya hidup kodratinya telah mati, dan sekarang dalam persatuan ini, diubah menjadi gerakan ilahi dan menjadi hidup demi Allah. Karena jiwa, seperti putri Allah yang sejati, digerakkan oleh Roh Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh Santo Paulus dengan mengatakan bahwa mereka yang digerakkan oleh Roh Allah adalah anak-anak Allah sendiri (Rm. 8:14)]
“Accordingly, the intellect of this soul is God’s intellect; its will is God’s will; its memory is the memory of God; and its delight is God’s delight; and although the substance of this soul is not the substance of God, since it cannot undergo a substantial conversion into him, it has become God through participation in God, being united to and absorbed in him, as it is in this state. Such a union is wrought in this perfect state of the spiritual life, yet not as perfectly as in the next life.” (Flame II, 34)
[Dengan demikian, intelek jiwa ini adalah intelek Allah; kehendaknya adalah kehendak Allah; ingatannya adalah ingatan akan Allah; dan kesenangannya adalah kesenangan Allah; dan meskipun substansi jiwa ini bukanlah substansi Allah, karena ia tidak dapat mengalami pertobatan yang substansial ke dalam diri-Nya, ia telah menjadi Allah melalui partisipasi di dalam Allah, dipersatukan dan diserap ke dalam diri-Nya, seperti halnya dalam keadaan ini. Persatuan seperti itu ditempa dalam keadaan sempurna dari kehidupan spiritual ini, namun tidak sesempurna dalam kehidupan selanjutnya.]
Persatuan dengan Allah sebenarnya memungkinkan kita untuk melihat semua ciptaan dengan mata Allah, untuk menanggapi setiap situasi dalam hidup kita dengan hati Yesus, dan untuk digerakkan oleh Roh Kudus dalam semua tindakan kita. Bagi Yohanes, transformasi daya jiwa kita untuk mengetahui, mencintai, mengingat, merasakan dan bertindak, mewakili konsekuensi psikologis dari kata-kata Santo Paulus ketika dia berkata: “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:20).
Oleh karena itu, kriteria Yohanes untuk kemajuan rohani bukanlah multiplisitas dan intensitas pengalaman rohaniah (religius) yang luar biasa, melainkan transformasi bertahap dari kepribadian manusia di dalam Allah. Dia tidak menganjurkan diskusi yang berkepanjangan tentang revelasi (jiwa menerima/memahami hal-hal yang baru) dan ‘locution’ (segala yang akal budi terima melalui pendengaran), karena hal-hal tersebut tidak berkaitan dengan menjadi pribadi yang baru di dalam Kristus. Alih-alih, Yohanes mendorong iman, harapan, dan cinta yang radikal sebagai cara yang paling pasti untuk melepaskan diri demi tindakan Allah untuk mentransformasi jiwa. Bahkan ketika Allah memberi orang pengalaman yang luar biasa, Yohanes menyarankan hal berikut:
“Spiritual directors should guide [those receiving supernatural communications] in the way of faith by giving them good instructions on how to turn their eyes from all these things and on their obligation to denude their appetite and spirit of these communications in order to advance. They should explain how one act done in charity is more precious in God’s sight than all the visions and communications possible – since these imply neither merit nor demerit – and how it is that many individuals who have not received these experiences are incomparably more advanced than those who have received many.” (A II, 22, 19)
[Supaya mencapai kemajuan, para pembimbing rohani hendaknya membimbing (mereka yang menerima komunikasi adikodrati) dalam jalan iman dengan memberi mereka petunjuk yang baik tentang cara memalingkan mata mereka dari semua hal ini dan tentang kewajiban mereka untuk menggugurkan ‘apetito’ dan semangat komunikasi ini (revelasi). Mereka harus menjelaskan bagaimana satu tindakan yang dilakukan dalam amal cinta-kasih lebih berharga di hadapan Allah daripada semua penglihatan dan komunikasi (adikodrati) tertentu – karena ini menyiratkan tidak ada pahala atau kerugian – dan betapa banyak individu yang belum menerima pengalaman ini jauh lebih maju daripada mereka yang telah menerima banyak.]
Yohanes mau menekankan bahwa tindakan cinta-kasih jauh lebih berharga daripada terikat dengan pengalaman penampakan atau penglihatan (‘vision’) tertentu maupun komunikasi adikodrati – sekalipun hal itu juga sering dialami oleh orang-orang kudus. Keterikatan inilah yang akan menghambat manusia mencapai Allah dan bisa jadi membuat jiwa jatuh ke dalam kesombongan rohani, seolah-olah hal itu yang lebih penting dan sempurna bagi kebaikan jiwa. Sebagaimana yang Yohanes tegaskan dalam buku Malam Gelap:
“This is the stage in which the devil induces many into believing vain visions and false prophecies. He strives to make them presume that God and the saints speak with them, and frequently they believe their phantasy. It is here that the devil customarily fills them with presumption and pride. Drawn by vanity and arrogance, they allow themselves to be seen in exterior acts of apparent holiness, such as raptures and other exhibitions.” (Dark Night II, C.2, N.3)
Yohanes sering menyebut hal itu sebagai ‘actual imperfections’ berkaitan dengan orang-orang yang kebaikan rohaninya sangat dangkal, begitu mudah dipengaruhi oleh indra-indra. Ada begitu banyak dan berlimpahnya komunikasi-komunikasi dan ketakutan-ketakutan rohaniah baik secara kejiwaan maupun indrawi. Mereka sering mengalami penglihatan imajiner dan spiritual yang membuat mereka begitu cemas serta percaya pada perasaan-perasaan itu. Di sini Iblis mempesona dan menyebabkan orang percaya pada penglihatan yang sia-sia serta nubuat-nubuat palsu dan merasa bahwa Allah dan orang-orang kudus berbicara kepada mereka, bahkan percaya pada fantasi mereka. Dengan demikian mereka menjadi begitu berani dan tidak lagi punya rasa takut akan Allah. Hal ini membuat mereka menjadi sombong dan mau terlihat seperti orang suci dan menunjukkan rasa bergairah yang berlebihan (‘rapture’) serta bentuk manifestasi lainnya.
Akhir kata. Mungkin kita bisa merefleksikan hal-hal ini dari sudut pandang pengalaman Petrus, Yakobus dan Yohanes (Luk 9: 28-36). Meskipun Petrus telah melihat kemuliaan Yesus di antara Musa dan Elia serta pernyataan Bapa-Nya bahkan mengalami kegairahan yang berlebihan, ia tetap saja mengkhianati Yesus. Kesempurnaan jiwa, menurut Yohanes, tidak ditentukan oleh suatu pengalaman adikodrati tetapi oleh kesediaan berkorban demi suatu nilai, yaitu cinta-kasih dan hal itu berharga di mata Allah. Rasul Yakobus menegaskan dalam suratnya: “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” (Yak 2:17).
Amlapura, 3 Juni 2020