DI ATAS GUNUNG KARMEL
Bacaan I hari Rabu Biasa pekan X/1 (1 Raj 18: 20-39) menceritakan perjumpaan antara Elia dan 450 nabi Baal di atas Gunung Karmel. Kisah itu sangat menarik untuk direnungkan. Ada beberapa permenungan pribadi yang ingin saya bagikan, khususnya kepada para karmelit (para biarawan, biarawati dan awam).
Pergi ke Karmel untuk Mencari dan Menemukan Allah yang Benar
Dalam kisah itu, Elia dan para nabi Baal pergi ke Gunung Karmel untuk menemukan Allah yang benar. Kenyataan ini sudah menjadi satu bahan refleksi bagi para karmelit. Para karmelit adalah orang-orang yang pergi ke (dalam keluarga) Karmel untuk suatu tujuan tertentu. Ada banyak alasan yang mendorong orang untuk pergi ke sana. Jika hal ini ditanyakan kepada para karmelit, tentu jawaban yang muncul akan beragam. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa action speaks louder than words.
Elia telah menunjukkan bahwa motivasi yang paling tepat untuk pergi ke (dalam keluarga) Karmel adalah untuk mencari dan menemukan Allah yang benar. Sepanjang perjalanan itu tentu ada berbagai hal yang memikat. Jika hal-hal itu terlalu diperhatikan, motivasi yang tepat bisa jadi malah melenceng. Karena itu tak mengherankan jika dalam kenyataannya ada banyak orang yang pergi ke (dalam keluarga) Karmel justru untuk mencari hal-hal sampingan seperti mencari kekayaan, popularitas, “kesuburan” (ingat, Baal adalah dewa kesuburan orang-orang Kanaan), nama baik, kelas sosial yang lebih tinggi, pendidikan yang lebih baik, ilmu (ada juga yang mencuri ilmu), gelar akademis, followers, subscribers dll. Sekali lagi, Elia mengingatkan bahwa tujuan untuk pergi ke sana adalah mencari dan menemukan Allah yang benar.
Pencarian Allah yang benar, yang dilakukan oleh Elia ditempuh melalui suatu kontes atau perlombaan yang sederhana, yaitu lomba membuat korban bakaran tanpa menggunakan korek api, sebab yang akan menyediakan api adalah Allah yang benar. Ternyata korban yang disambar oleh api (persembahan yang berkenan kepada Allah) adalah korban Elia. Di dalam Kitab Suci, Allah memang beberapa kali menunjukkan diriNya dalam rupa api, misalnya saat Ia menunjukkan diri kepada Musa (bdk. Kel 3) dan saat peristiwa pentakosta (bdk. Kis 2: 1-13). Peristiwa transveberasi St. Teresa (bdk. Riwayat Hidup 29.13) dan Living Flame of Love yang ditulis oleh St. Yohanes dari Salib pun menegaskan hal ini. Saya kira, itulah gambaran orang-orang yang telah menemukan Allah yang benar. “Hati mereka berkobar-kobar,” seperti dua murid dalam perjalanan ke Emaus (bdk. Luk 24: 13-35) dan juga seperti Elia.
Askese yang Tepat
Para Pujangga Gereja dari Ordo Karmel telah menunjukkan dan menjelaskan bahwa ordo ini berkarakter asketis (menjalankan berbagai praktik dan latihan rohani melalui pengendalian diri) dan mistis (terarah kepada persatuan dengan Allah). Dimensi mistis memang terjadi hanya karena rahmat Allah. Meskipun demikian, manusia bisa “menyiapkan lahan” untuk menerima rahmat melalui praktik askese yang tepat.
Dalam kisah perjumpaan antara Elia dan para nabi Baal diceritakan bahwa Elia mengejek cara mereka yang memanggil dewa dengan menggunakan pedang dan tombak untuk melukai diri; seolah-olah dewa mereka adalah sosok sadis yang bahagia saat melihat penderitaan orang lain. Ejekan Elia ini bisa jadi adalah ejekan terhadap berbagai praktik askese yang tidak tepat yang sering terjadi. Santa Teresa dan St. Yohanes dari Salib (yang sungguh-sungguh asketis dan mistis) memberi catatan tentang askese yang tidak tepat. Dalam buku I Pendakian Gunung Karmel 8.4, St. Yohanes dari Salib mengomentari orang-orang yang melakukan askese yang tidak tepat dengan kata-kata ini, “Ketidaktahuan yang dimiliki oleh beberapa orang sangat menyedihkan; mereka membebani diri dengan penyilihan yang luar biasa dan banyak hal lain, dengan berpikir bahwa hal itu tidak cukup untuk memperoleh persatuan dengan kebijaksanaan ilahi.” Tentang askese yang tidak tepat ini, St. Teresa mengingatkan dalam Jalan Kesempurnaan 39.3, dengan menulis, “Setan mencobai kita untuk melakukan berbagai penyilihan secara berlebihan agar kita mungkin berpikir bahwa kita lebih menunjukkan pertobatan daripada orang lain.” Selain itu, dalam I Puri Batin 2.16, ia bercerita tentang seorang biarawati yang terdorong untuk melakukan penyilihan yang berlebihan, juga saat ia tidak diizinkan, hingga akhirnya ia kehilangan kesehatannya. Askese memang suatu tindakan yang baik, tetapi jika tidak waspada, hal itu bisa dipakai oleh setan untuk menjerumuskan. Dalam askese orang diajak untuk menanggung penderitaan yang diinginkan oleh Allah untuk ditanggungnya. Penyilihan yang dipersembahkan atau persembahan yang dilakukan (misalnya lewat puasa atau pantang) bertujuan untuk menguatkan kehendak agar orang bisa menerima penderitaan yang nyata. Jika orang menjalankan askese secara keliru, sebenarnya ia ditipu oleh setan untuk melakukan suatu kebodohan, kekonyolan atau suatu sikap masokhisme (kelainan jiwa yang terjadi saat orang merasa puas jika dilukai) rohani. Elia menertawakan sikap-sikap ini.
Memberikan yang Terbaik bagi Allah
Saya tertarik saat memperhatikan hal yang dilakukan oleh Elia ketika ia mempersembahkan korban di atas Gunung Karmel. Ia membuat suatu parit di sekeliling mezbah dan menyiram air ke atas korban dan kayu api hingga air memenuhi parit itu. Hal ini tampaknya sederhana saja. Meskipun demikian, saat peristiwa itu terjadi, di sana sedang berlangsung kemarau panjang selama tiga setengah tahun. Menyiapkan air di atas gunung pada kemarau sepanjang itu tentu bukan sesuatu yang mudah dan menuntut pengorbanan besar. Meskipun demikian, Elia melakukannya. Ia sepertinya mau menunjukkan bahwa orang harus memberikan yang terbaik bagi. Tidak menjadi masalah jika orang hanya memberi sedikit untuk Allah asalkan hal yang sedikit itu adalah hal terbaik yang dimilikinya. Janda miskin yang memasukkan dua peser ke kotak persembahan ternyata dipuji oleh Tuhan karena Ia tidak melihat kuantitas, tetapi kualitas, dan lebih khusus lagi totalitas. Itulah salah satu wujud askese yang tepat yang membantu orang untuk mencari dan menemukan Allah yang benar.
Penutup
Pengalaman Elia di atas Gunung Karmel menunjukkan 3 sikap sederhana yang seharusnya terjadi di (dalam keluarga) Karmel, yaitu mencari dan menemukan Allah yang benar, menjalankan askese yang tepat dan memberikan yang terbaik bagi Allah. Itulah teladan Elia. Ketika para karmelit sungguh-sungguh menjalankan sikap-sikap itu, bersama Elia mereka berani berseru, “Aku bekerja segiat-giatnya bagi Tuhan semesta alam.” (RP. Alb. Indra, OCD)