YOHANES DARI SALIB: TANDA AWAL DARI KONTEMPLASI

Seri Karmelit Teresiana 5

Ketika kita mulai merefleksikan uraian Yohanes dari Salib tentang permulaan kontemplasi, pertama-tama kita harus menjelaskan ajaran mistiknya tentang malam gelap sebagai awal sesungguhnya dari ‘infused contemplation’ atau pengalaman mistik. Yohanes menggambarkan permulaan kontemplasi terutama dalam Buku I dan II Malam Gelap. Seperti penulis spiritual lainnya, Yohanes dari Salib menjelaskan kontemplasi sebagai bagian integral dari doa. Fokusnya adalah pada transisi dari meditasi atau doa mental diskursif menuju doa yang lebih afektif, dan kemudian ke doa yang lebih pasif di mana Allah mengambil alih seseorang yang sedang berdoa dalam kontemplasi. Proses transisi ini akan menyebabkan kekeringan dan kegersangan (kebosanan). Inilah suatu malam gelap. Tetapi bagaimana jiwanya tahu apakah kekeringan ini adalah hasil dari malam gelap atau kesakitan lainnya? Untuk membantu jiwa memahami persoalan ini, Yohanes dari Salib memberikan tiga tanda, dan menurut Constance Fitzgerald, “secara tradisional, [tiga tanda ini] telah diakui sebagai tanda-tanda teologis dari bagian ini dalam doa yang berasal dari meditasi diskursif ke kontemplasi dan oleh karena itu, merupakan gambaran perkembangan spiritual dan kehidupan inter-personal seseorang.” [Constance FitzGerald, “Impasse and Dark Night,” in Women’s Spirituality: Resources for Christian Development, ed. Joan Wolski Conn (Mahwah NJ: Paulist, 1986), p. 293]

Yohanes memaparkan ketiga tanda itu dalam buku kedua Pendakian Gunung Karmel (Ascent II, 13, 2-4) dan dalam buku pertama Malam Gelap (Dark Night I, 9, 2-8). Menariknya, dalam kedua karya itu, Yohanes tidak hanya memperlakukan kesamaan antara tanda-tanda, tetapi juga menekankan perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Seperti yang ditunjukkan Marc Foley, “dalam Pendakian Gunung Karmel, Yohanes menggarisbawahi keinginan jiwa ‘untuk tetap sendirian dalam kesadaran akan Allah yang penuh kasih tanpa pertimbangan tertentu, dalam kedamaian dan ketenangan dan ketentraman batin …’ (A II, 13, 4)” [Marc Foley, John of the Cross – The Ascent to Joy: Selected Spiritual Writings (New City Press, 2002), p. 79], tetapi dalam Malam Gelap, kesadaran sederhana akan kehadiran Allah tidak ditemukan di sana. “Salah satu penjelasan umum untuk perbedaan ini”, kata Foley, “adalah bahwa dalam Pendakian Gunung Karmel, Yohanes menggambarkan jiwa yang telah terbiasa dengan kontemplasi; sedangkan, dalam Malam Gelap, Yohanes menggambarkan seseorang yang kesadaran sederhananya akan kehadiran Allah adalah sesuatu yang baru.” (Ibid, p. 80). Dan lagi: “tanda-tanda dalam Pendakian Gunung Karmel dilihat dari sisi jawaban iman seseorang, sedangkan tanda-tanda dalam Malam Gelap datang dari sisi Allah”, tetapi pada dasarnya, tanda-tanda itu sama dan dapat dikorelasikan. [Constance FitzGerald, p. 293.]

Tanda pertama menggambarkan kenyataan bahwa seseorang tidak dapat melakukan meditasi diskursif atau menerima kepuasan darinya seperti sebelumnya. Ini adalah kekeringan karena sekarang Allah tidak mengkomunikasikan dirinya melalui indera-indera, “but begins to communicate himself through pure spirit by an act of simple contemplation in which there is no discursive succession of thought.” (tetapi mulai mengkomunikasikan dirinya melalui roh murni dengan tindakan kontemplasi sederhana di mana tidak ada suksesi diskursif pemikiran, DN I, 9,8). Namun, meskipun jiwa tidak dapat membuat meditasi diskursif atau doa mental dan mendapatkan kepuasan darinya, Yohanes menyarankan untuk tidak segera meninggalkan metode ini. Mengapa? Karena ada saat ketika meditasi harus dihentikan, yaitu saat jiwa ditempatkan “dalam kedamaian dan ketenangan batin” pada tanda ketiga.

Tanda kedua adalah “kesadaran akan kecenderungan untuk memperbaiki daya imajinasi ataupun daya indrawi pada objek tertentu lainnya, baik objek eksterior maupun objek interior” dan karena itu akan membawa “kekosongan dalam pengalaman hidup dan kematian hasrat.” Kekeringan ini tidak hanya dalam doa, tetapi juga dalam hidup, relasi, perkawinan, pelayanan kita dan sebagainya. Yohanes mengatakan seperti ini:

“Souls do not get satisfaction or consolation from things of God, (and) they do not get any out of creatures either. Since God puts a soul in this dark night in order to dry up and purge its sensory appetite, he does not allow it to find sweetness or delight in anything.” (DN I, 9,2)

[Jiwa tidak mendapatkan kepuasan atau penghiburan dari hal-hal tentang Allah (dan) mereka juga tidak mendapatkannya dari makhluk-ciptaan apa pun. Karena Allah menempatkan jiwa dalam malam gelap ini untuk mengeringkan dan membersihkan ‘apetito’ inderawinya, Ia tidak membolehkannya untuk merasakan kemanisan atau kesenangan dalam apa pun]

Tanda ketiga lebih penting lagi:

“The third and surest sign is that a person likes to remain alone in loving awareness of God, without particular considerations, in interior peace and quiet and repose, and without the acts and exercises (at least discursive, those in which one progresses from point to point) of intellect, memory and will. Such a one prefers to remain only in general, loving awareness and knowledge we mentioned, without any particular knowledge and understanding.” (A I, 13, 1-4)

[Tanda ketiga dan tanda yang paling pasti adalah bahwa seseorang suka tinggal sendirian dalam kesadaran akan Allah yang penuh kasih, tanpa pertimbangan tertentu, dalam kedamaian dan ketenangan dan ketentraman batin, dan tanpa tindakan-tindakan dan latihan-latihan (setidaknya secara diskursif, yang di dalamnya seseorang berkembang setitik demi setitik) dari intelek, ingatan dan kehendak. Orang seperti itu pada umumnya lebih suka tinggal dalam kesadaran dan pengetahuan yang penuh kasih sebagaimana yang kita singgung, tanpa pengetahuan dan pemahaman tertentu.]

Dibandingkan dengan dua tanda sebelumnya, tanda ini lebih positif karena dengan cara baru ini jiwa ingin tetap sendirian dalam kesadaran akan Allah yang pengasih. Ketika jiwa mengalami kedamaian, ketenangan dan ketentraman batin, inilah awal dari kontemplasi.

Amlapura, 15 Juni 2020

RP.Yonis Toras, OCD

Referensi:

FitzGerald, Constance, “Impasse and Dark Night,” in Women’s Spirituality: Resources for Christian Development, ed. Joan Wolski Conn (Mahwah NJ: Paulist, 1986)

Foley, Marc, John of the Cross – The Ascent to Joy: Selected Spiritual Writings (New City Press, 2002)

St. John of the Cross, The Collected Works of St. John of the Cross, trans. Kieran Kavanaugh and Otilio Rodriguez, rev. ed. (Washington, D.C.: ICS Publications, 1991)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.