HUT RI 79 (Pastor Yonis Toras OCD)

Pastor Yonis Toras OCD

MARI MENEGARA, BUKAN HANYA BERNEGARA

(P. Yonis Toras, OCD)

Di HUT Kemerdekaan RI yang ke 79 ini, perkenankan saya sedikit berbagi tulisan dan refleksi tentang kemajemukan dan persoalan bangsa yang selalu kita hadapi saat ini. Tulisan ini tidak sempurna, hanya sebagai ungkapan keprihatinan.  

Pernah saya bayangkan, seandainya saya seorang Presiden Indonesia, mungkin saya adalah orang yang merasa paling menderita. Tentu tanggung jawabnya tidak kecil dan segala konsekuensinya harus siap saya terima sebagai seorang “kepala rumah tangga” untuk ratusan juta jiwa dan ratusan juta pola pikir yang berbeda. Untuk menerapkan keadilan sosial dalam sebuah negara yang beraneka latar belakang budaya, pemikiran, dan filosofi hidup serta dilabeli oleh perbedaan agama, suku dan ras, tidaklah begitu mudah untuk memimpin bangsa ini. Memikirkannya saja sulit apalagi menerapkannya. Membesarkan 3 orang anak saja sudah pusing, apalagi tuntutan setiap anak itu bermacam-macam dan malah mengotot ini-itu. Pilpres dan Pileg (dan Pilkada yang akan kita lewati) seolah-olah menjadi target utama para cendekiawan dan praktisi politik, ‘yang penting menang’, urusan mensejahterakan rakyat nanti ‘urusan kedua’, padahal pesta demokrasi ini hanyalah sarana untuk mencapai tujuan yaitu keadilan sosial. Biaya politik pun tidak kecil dikarenakan sistem yang mengikat dan menyandera, bahkan malaikat pun bisa menjadi iblis ketika masuk ke dunia politik. Yang ironisnya lagi, sejak era reformasi, ada calon presiden dan beberapa calon kepala daerah bahkan merayakan kemenangannya berdasarkan perhitungan quick count bersama para pendukungnya, padahal menjadi presiden, gubernur maupun bupati, itu tugas yang sulit seperti menjadi orang tua bagi anak-anak. Bayangkan saja, menjadi orang tua untuk 3 anak saja sudah pusing apalagi menjadi orang tua untuk jutaan penduduk, kok dirayakan dengan penuh sukacita padahal itu tanggung jawab yang besar, butuh manajemen konflik yang tepat dan tidak lepas dari pengaturan anggaran demi kesejahteraan sosial. Kalau selama 4 sampai 5 tahun ia tidak mampu menjadi ‘orang tua yang baik untuk anak-anaknya’, maka dalam bahasa agama, itu adalah dosa karena ia mau menerima “tanggung jawab” tetapi tidak mampu “bertanggung jawab”, apalagi ada praktek-praktek korupsi secara kelembagaan maupun perorangan yang selalu mencederai mental bangsa ini.

Amartya Sen (1933), pemenang hadiah Nobel Ekonomi (1998), menulis dalam bukunya “Idea of Justice” (2009), menggambarkan pluralitas dunia modern dalam sebuah ilustrasi sederhana yang berjudul “Three Children and A Flute” (terj: Tiga Anak dan Satu Seruling). Ilustrasi ini menceritakan tentang tiga anak: Anne, Bob dan Carla yang sedang memperdebatkan kepemilikan sebuah seruling. Anne mengklaim bahwa dirinyalah yang paling layak memiliki seruling itu sebab ia adalah satu-satunya dari mereka bertiga yang dapat memainkan seruling. Anne berargumen bahwa memberikan seruling kepada dua anak yang lain adalah suatu tindakan yang tidak bermanfaat sama sekali, karena toh seruling itu tidak dapat dimainkan mereka berdua. Sebaliknya, apabila seruling itu diberikan pada dirinya maka kedua temannya dapat menikmati apa yang ia mainkan. Bob berpendapat lain. Ia mengklaim bahwa dirinyalah yang paling layak memiliki seruling itu karena ia adalah anak termiskin dari ketiganya. Bob tidak memiliki satu barang pun untuk dimainkan, sedang dua anak lainnya sudah memiliki banyak mainan karena mereka anak dari keluarga yang mampu. Karena itu memberikan seruling pada Bob merupakan tindakan yang mulia. Anak ketiga, Carla, juga punya pendapat yang lain. Carla juga mengklaim bahwa dirinya adalah yang paling layak memiliki seruling itu karena ia adalah anak yang membuat seruling itu. Seruling itu dibuat Carla sendiri melalui kerja keras yang berbulan-bulan dan tanpa bantuan teman-temannya. Carla bahkan menuduh kedua temannya hendak merebut seruling itu darinya.

  Melalui ilustrasi ini, Sen menunjukkan bahwa menentukan keadilan pada masa ini bukan suatu persoalan yang mudah, bahkan urusan sepele yang dihadapi ketiga anak tersebut. Masing-masing anak, yang datang dari latar belakang berbeda punya landasan pemikiran yang berbeda. Masing-masing punya argumen tersendiri. Dengan latar belakang, kepentingan dan cara berpikir yang jauh berbeda, saling memahami menjadi faktor kesulitan tersendiri bagi masyarakat modern. Hidup di zaman modern adalah hidup yang berhadapan dengan pluralitas. Padahal relasi antar personal yang mendalam menjadi prasyarat pencapaian pemenuhan kebutuhan cinta. Kesuksesan berelasi di zaman modern membutuhkan pemahaman dan kemampuan mengelola pluralitas yang mendalam, dan itu bukanlah hal yang mudah.  Sebagai contoh cerita tiga anak dan sebuah seruling. Anne mengatakan seruling harus diberikan kepadanya karena dia adalah satu-satunya yang tahu cara memainkannya. Bob mengatakan seruling harus diserahkan kepadanya karena dia sangat miskin sehingga dia tidak punya mainan untuk dimainkan. Carla mengatakan seruling itu miliknya karena itu adalah hasil kerja sendiri. Bagaimana kita memutuskan antara tiga klaim yang sah ini? Siapa yang mendapat seruling tergantung pada pandangan filosofis atau sudut pandang tentang apa itu adil. Bob, yang paling miskin, akan mendapat dukungan langsung dari kaum egaliterian. Kaum libertarian akan memilih Carla. Kaum hedonis-utilitarian akan sedikit bertengkar tetapi pada akhirnya akan puas dengan Anne karena dia akan mendapatkan kepuasan maksimal, karena dia benar-benar dapat memainkan seruling itu. Sementara ketiga keputusan didasarkan pada argumen rasional dan benar dalam perspektif mereka sendiri, mereka mengarah ke resolusi yang sama sekali berbeda. Jadi keadilan bukanlah ide monolitik tetapi gagasan pluralistik dengan banyak dimensi.

Namun para filsuf Barat telah melihat keadilan sebagian besar dalam istilah tunggal dan utopis. Hobbes, Locke dan Kant, misalnya, menjalin gagasan tentang keadilan di sekitar “kontrak sosial” (social contract) imajiner antara warga dan negara. Suatu “masyarakat yang adil” (just society) dihasilkan melalui lembaga-lembaga negara yang benar-benar sempurna dan pengaturan sosial serta perilaku yang benar dari warga negara.

 Sen mengidentifikasi dua masalah serius dengan pendekatan “pengaturan terfokus” (arrangement focused approach) ini. Pertama, tidak ada kesepakatan yang masuk akal tentang sifat “masyarakat yang adil”. Kedua, bagaimana kita benar-benar mengenali “masyarakat yang adil” jika kita menjumpainya? Tanpa beberapa kerangka perbandingan, tidak mungkin mengidentifikasi ideal yang perlu kita kejar.

Lebih jauh lagi, pendekatan ini tidak membantu dalam menyelesaikan isu-isu dasar ketidakadilan. Bagaimana Anda akan beralasan, misalnya, bahwa perbudakan adalah ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi dalam kerangka yang mementingkan dirinya dengan lembaga-lembaga dan perilaku yang benar? Bagaimana kita akan memastikan bahwa obat-obatan yang diproduksi dengan baik dan murah tersedia bagi pasien AIDS yang miskin di negara berkembang? Ketika dihadapkan dengan ketidakadilan yang mencolok, pendekatan kontrak ternyata menjadi berlebihan dan tidak layak.

 Negara bisa menyekolahkan anak-anaknya, tetapi beasiswa hanya untuk anak-anak yang berprestasi. Setiap tahun banyak sekali angka lulusan sarjana di institusi pendidikan, tetapi malangnya, mereka ini akan menjadi “calon pengangguran”. Terbatasnya lapangan pekerjaan, membuat anak-anak berprestasi lebih cenderung bekerja di luar negeri. Anak-anak yang tidak berprestasi hanya mengandalkan bakat alami untuk menjadi pekerja imigran, bahkan banyak yang menjadi pekerja imigran ilegal. Adil di satu sisi, tetapi tidak adil di sisi lain. Kata pepatah hukum romawi kuno: Summum ius summa injuria keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi. Maka kadangkala, kata orang Bajawa, lebih baik duduk minum moke dan nalo bersama sambil seruput kopi, merokok, bersenda-gurau dan tertawa ria, daripada memikirkan keadaan bangsa ini. Tetapi itu bukanlah solusi menyelesaikan masalah. Mari, kita bukan hanya bernegara dan ber-KTP tetapi juga menegara, mungkin lewat suara-suara yang kritis bukan hanya lewat kotak suara, atau memberi solusi dan pengetahuan dengan memanfaatkan bakat dan kemampuan sekecil-kecilnya demi mencapai tujuan sebesar-besarnya. Semua ini datang dari niat baik kita. Semoga bangsa kita ke depan semakin menjadi bangsa yang bermartabat dan beradab. Bukan hanya merayakan kemerdekaan dari penjajahan tetapi juga kemerdekaan dari sistem yang korup dan tak adil.

SELAMAT MERAYAKAN HUT RI YANG KE 79, SEMOGA TUHAN SENANTIASA MERAHMATI KITA.

 Bajawa, 17 Agustus 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *