Panggilan Hidup Membiara: Menatap Atau Menetap

Oleh Pater Sakarias Abduli OCD

Saban hari, tersebar di dalam menu-diskusi lisan maupun tulisan di Gereja Katolik, bahwa ada kisah nyata di banyak tempat di bumi ini sedang mengalami krisis panggilan dalam Hidup Membiara (Hidup Bhakti). Penurunan jumlah anggota hidup membiara berdampak pada penutupan banyak gedung biara, termasuk gereja-gereja di banyak komunitas biara di belahan benua lainnya, dialihkan menjadi museum atau menjadi destinasi wisata domestik maupun internasional. 

Sementara di Asia, khususnya Indonesia, panggilan hidup membiara secara umum masih dikatakan stabil atau bahkan cenderung meningkat. 

Kenyataan tersebut, saya telusuri dengan pertanyaan sederhana: Hidup membiara: Menatap atau Menetap?

Jika persoalannya ada pada defisit kuantitatif maka pertanyaan emosionalnya demikian: apakah di era ini, tak ada lagi desahan bergairah rohani dari mulut umat tentang panggilan hidup membiara? Atau ‘cita-cita’ menjadi biarawan dan biarawati sudah ditabukan di antara “cita’cita” lainnya?

Dan jika kenyataannya ada pada surplus kualitas maka pertanyaan fundamentalnya demikian: apakah jumlah yang banyak menjadi jaminan orang memilih menetap dengan kualitas rohani yang matang? Apakah mereka yang menetap tidak punya pergulatan dan persoalan hidup harian?

Paus Fransiskus dalam homilinya pada saat peringatan Hidup Bakti (Vita consacrata) di Vatikan (2 Februari 2019), menekankan beberapa poin: 

Pertama, ia memulainya dengan pernyataan berikut: “hidup bhakti itu bukanlah panggilan untuk bertahan hidup, tetapi panggilan untuk hidup baru”. Baginya vita consacrata adalah waktu bertemu Tuhan. Pertemuan itu bukanlah soal kapan-kapan saja melainkan kesempatan bertemu setiap saat dengan Tuhan.

Pilihan untuk bertemu Tuhan setiap hari bukanlah secara virtual melainkan pilihan  riil menciptakan harmonisasi antara hukum dan spiritualitas.

Kedua, hidup bhakti itu menjawabi dua panggilan: Hukum dan Roh. Hukum supaya hidup bakti menjadi harmonis. Sementara Roh senantiasa membaharui hidup panggilan.

Ketiga, setia dalam hal-hal yang nyata. Kesetiaan hidup bhakti terwujud dalam hal-hal harian. Hal-hal sederhana perlu dijalani sebagai sebuah mosaik yang keindahannya mendatangkan kejutan dari Tuhan bagi semua. 

Misalnya: kesetiaan dalam doa harian, terlibat dalam Ekaristi dan rekreasi komunitas, pengakuan dosa, pelayanan pastoral, dll yang mempererat hubungan dalam komunitas hidup bhakti dan perkembangan iman umat.

Keempat, perjumpaan dengan Tuhan melahirkan visi baru. Visi hidup bhakti adalah visi yang sederhana dan profetis dalam kesederhanaan hidup. Apa jenis visi itu? Paus menekanan demikian: Hidup adalah Dia, Pengharapan adalah Dia, masa depan adalah Dia. Kesederhanaan hidup membiara harus sama dengan kesederhanaan Yesus. 

Dengan kata lain hidup sederhana berarti hidup riil ala Yesus bukan berobsesi seperti Yesus.

Kelima, jangan bermain harga dengan Tuhan tetapi hidup dalam kehidupan baru. Kehidupan baru berarti menentang target harga pelayanan rohaniah, menentang tujuan hidup nyaman dan serba ada, melawan mentalitas manja dan tidak puas dengan apa yang ada. 

Karena itu, sekali lagi, Paus menegaskan: “La vita consacrata non è sopravvivenza, non è prepararsi all’ “ars bene moriendi”: questa è la tentazione di oggi davanti al calo delle vocazioni. No, non è sopravvivenza: è vita nuova ”: (hidup bakti itu bukanlah untuk mempertahankan hidup, bukanlah mempersiapkan diri untuk mati secara baik. Ini adalah godaan yang datang di hadapan panggilan kita. Tidak, bukanlah mempertahankan hidup tetapi suatu hidup baru”)

Sejalan dengan gagasan inspiratif  Sripaus, kita patut menata dan menempatkan secara tepat orientasi hidup membiara yang di satu sisi ada banyak orang menatap masa depan yang lebih baik, nyaman dan tenang di balik Salib Yesus yang terpancang di dinding-dinding biara lalu sekejap saja ketika rasa puas dan cukup sudah tersalurkan maka pilihan “sayonara” melesat kuat di alam euforianya. 

Tak dipungkiri, mereka yang memilih jalan lain juga karena keputusan bebas dan tak kehilangan daya rohani untuk menabur kebaikan Allah di sudut-sudut hidup mereka. 

Orang-orang yang "Menetap”?  Mereka terus berjuang menyerupai Yesus dalam “Spiritualitas Gereja dan Kongregasi” dan dalam karya misi selaras karisma masing-masing.

Benar bahwa penurunan jumlah panggilan hidup membiara sepertinya dikalahkan oleh pesona sekularisme dan materialisme, tetapi mereka yang menetap pun dengan gairah kemartiran ilahi mampu mengalahkan kenikmatan duniawi itu, hal ini tidaklah mudah dan bukan juga tersulit. 

Menatap dan menetap kini bukan lagi sekedar slogan dan kata-kata jeratan dalam promosi panggilan melainkan nilai yang perlu dibicarakan terus menerus sejak anak-anak mulai melihat “cita-cita” mereka. Keluarga, komunitas religius dan Gereja secara luas harus menatap tajam dan terbuka pada geliat rohani ini. 

Di dalam MENATAP DAN MENETAP, para biarawan/wati menenun dan mengenakan pakaian kebiaraan dalam semangat “De Vita Fratrum” (tentang hidup bersama saudara-saudara) dan “De vitae nostrae” (tujuan hidup kita). Ritme metamorfis spiritualnya (on going formation) demikian: Exordium (permulaan), incrementum (pertumbuhan) dan plenitudo (kepenuhan). 

Biara Karmel San Juan, Penfui-Kupang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *