Santa Elisabeth dari Trinitas

oleh: P. Maximus Genggeng OCD

Nama kecil Elisabeth dari Trinitas adalah Elisabeth Catez. Ia dilahirkan pada tanggal 18 Juli 1880 di Kamp Militer di Bourges, Perancis. Ia adalah puteri dari Joseph Catez, seorang kapten, dan Maria Catez. Ketika masih kecil Elisabet memiliki sifat yang kasar. Kematian ayahnya pada tahun 1887 membuat ibunya membawa Elisabet dan saudaranya, Margaret pindah ke Dijou. Setelah menerima Komuni pertama dan juga kunjungan dari prioress biara Karmel, sifat Elisabet berubah dan mulai merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya. Ia memiliki beberapa bakat seperti bermusik, bahkan sampai mendapatkan penghargaan, menulis puisi dan juga mengajar katekismus kepada anak-anak. Elisabet merasakan Panggilan Tuhan dan memutuskan untuk bergabung dengan Ordo Karmel Tak Berkasut, walaupun ibunya menentang keputusannya, bahkan sampai mencarikan suami untuk Elisabet. Elisabet tetap pada keputusannya untuk menjadi seorang biarawati Karmel dan ia diterima. Pada tanggal 8 Desember 1901 ia menerima jubah Karmel, dengan nama Elisabet dari Tritunggal. Melalui perlindungan Tritunggal Mahakudus, Elisabet lebih memahami misteri Trinitas, dan ia menuliskan apa yang ia rasakan. Pada tahun 1903, Elisabet mengikrarkan kaul kekalnya. Namun pada tahun 1905, kesehatannya menurun. Ia meninggal dunia pada 9 November 1906 di Dijon, Perancis dalam usia 26 tahun dan hanya 5 tahun hidup membiara.

Sebagai seorang Karmelites, Beata Elizabeth dari Trinitas hidup dalam cita-cita dan semangat Karmel yang telah dirintis oleh pendahulunya, St. Teresa Avila. Dalam Karmel, dia merasakan kehadiran Allah di mana-mana dan dalam segala aktifitasnya: “Di Karmel di mana-mana hanya ada Tuhan, hidup dalam Tuhan, menghirup Tuhan. Di sini hanya ada Tuhan, Tuhan berarti segala-galanya, Dia saja cukup, kami hidup hanya dari Dia saja, di mana-mana kami menemukan Dia, baik di tempat cuci maupun pada jam doa.” (kutipan surat no. 91).

Ia juga menyatakan suatu rahasia kekudusan yang sangat sederhana, yaitu melalui hidup di hadirat Allah. Elisabeth memahami bahwa lubuk hati manusia itulah yang menjadi hadirat Allah. Ia percaya bahwa Allah menjadikan hati manusia Bait-Nya yang kudus sehingga manusia selalu dapat merasakan kehadiran Allah serta menjumpai-Nya setiap saat. Elisabeth selalu berusaha menyadari kehadiran Allah dalam hatinya. Ia katakana: “Semoga aku selalu memperhatikan Tuhan saja! Menurut saya itulah rahasia kekudusan, sederhana sekali. Perlu kita sadari bahwa kita membawa surga di dalam hati kita.” (Kutipan surat no. 107).

Hidup di hadirat Allah ini berarti juga selalu hidup dalam persahabatan dengan Allah dan dalam segala aktifitas serta segala peristiwa kehidupan kita. Elisabeth katakan: “Marilah kita hidup dengan Tuhan seperti dengan seorang teman. Biarlah iman kita selalu menyala, supaya lewat segala sesuatu kita tetap bersatu dengan Dia. Inilah jalan menuju kekudusan. Surga kita ada dalam diri kita” (kutipan surat no. 122).

Demikian juga dalam segala situasi yang membawa kekhawatiran, ketegangan ataupun kemalangan, kita dapat selalu datang ke hadirat Allah yang tinggal dalam lubuk jiwa kita yang terdalam: “Bangunlah sebuah sel (kamar) kecil dalam hatimu. Ketahuilah Allah ada di sana dan hendaknya kamu sekali-sekali masuk ke situ. Bila kamu merasa tegang atau malang, cepat masuklah ke situ dan percayakan semuanya itu kepada Sang Guru. Berdoa tidak akan menjemukan kamu, kamu pergi kepada Dia yang kamu cintai, kamu tinggal padaNya seperti anak kecil yang digendong ibunya dan membiarkan hatimu berbicara.” (kutipan surat no. 123).

Dalam rutinitas kehidupan kita dan di tengah-tengah segala kesibukan kita, Elizabeth mengajak kita untuk selalu kembali ke hadiratNya, menyadari bahwa Dia selalu bersama kita: “Bila kamu terganggu oleh banyaknya tugasmu, kalau mau, kamu dapat selalu kembali kepada Tuhan, masuklah kamu setiap jam ke dalam lubuk jiwamu, dimana Tamu Illahi bersemayam (kalau lupa, ya tidak apa-apa). Mungkin kamu dapat mengingat kembali kata-kata indah yang kuucapkan: ‘Angota-anggota tubuhmu adalah kenisah Roh Kudus, yang bersemayam di dalammu.’ Atau kata-kata Sang Guru sendiri: ‘Tinggallah dalam Aku, maka Aku akan tinggal dalam kamu.’ Dikatakan tentang St. Katarina dari Siena, bahwa ia biarpun di tengah-tengah dunia, selalu tetap tinggal dalam selnya, sebab ia berada di kediaman batin itu, di mana kamu juga dapat tinggal.” (kutipan surat no. 239).

Surat-surat rasul Paulus sangat menjiwai kehidupan Beata Elizabeth dari Trinitas. Melalui St.Paulus, dia sungguh menyadari bahwa oleh rahmat pembaptisan, setiap orang Kristen menjadi tempat kediaman Allah, menjadi kenisah Allah: “Sadarilah bahwa kamu adalah kenisah Allah, kata St.Paulus lagi! Setiap saat siang dan malam, Tritunggal tinggal di dalam hatimu. Mereka itu ada di dalam dirimu. Kalau kita belajar meyadari hal ini, maka mulailah suatu keakraban yang ajaib dan kita tidak pernah akan sendirian lagi!” (kutipan surat no. 273).

Dalam kehidupannya di dunia yang relatif singkat, Tuhan telah menganugerahkan kepadanya untuk melihat hal-hal yang paling hakiki dalam hidup manusia, yaitu untuk mengasihi Allah di atas segala-galanya. Inilah jalan dan tujuan kehidupan kita, yaitu untuk mengenal dan mengasihi Allah sampai pada kepenuhannya: “Dalam terang keabadian manusia melihat segalanya seperti adanya yang sebenarnya. Maka segala yang tidak untuk Tuhan dan tidak dilakukan bersama Tuhan adalah hampa belaka. Kumohon, pasanglah di mana-mana meterai kasih. Hanya cinta yang tetap! Hidup ini amat serius, setiap saat dianugerahkan kepada kita untuk semakin dalam berakar di dalam Tuhan, kata St. Paulus, sehingga keserupaan kita dengan Tuhan, teladan Illahi itu, semakin nyata dan persatuan dengan Dia semakin mesra.” (kutipan surat no. 333).

Kemudian dalam surat yang sama, ia melanjutkan: “Inilah rahasianya supaya rencana Tuhan menjadi suatu kenyataan: melupakan diri, meninggalkan diri, tidak menghiraukan diri lagi, menengadah kepada Sang Guru, hanya kepada Dia saja, dan menerima sukacita maupun hal-hal yang menyakitkan sebagai sesuatu yang langsung berasal dari CintaNya. Kalau begitu kita akan hidup di atas dataran tinggi yang penuh dengan ketentraman.” Di sinilah dapat dilihat aspek penyangkalan diri dari hidup di hadirat Allah, yaitu melupakan diri sama sekali dan mengarahkan segala sesuatu kepada Allah, hidup melulu untuk mengasihi Allah, baik dalam suka maupun duka, disertai keinginan besar agar dalam segala sesuatu apa yang direncanakan Allah dapat terlaksana secara penuh.

Zaman kita saat ini ditandai dengan banyaknya orang yang semakin mabuk akan materi, harta, kekuasaan dan kenikmatan. Mereka lupa pada Tuhan dan memutlakkan hidup di dunia ini. Namun kalau dicermati secara mendalam, tidak sedikit pula orang yang mencari dan mengejar harta surgawi. Banyak orang masuk ke dalam alam keheningan hati mereka untuk bersemuka dengan Tuhan Sang Pencipta. Ini menandakan bahwa segala tawaran dunia yang menjanjikan kenyamanan tetap tak mampu memberikan kebahagiaan sejati kepada manusia. Bahkan kenyataan yang kita temui adalah semakin orang memiliki materi, kuasa, kehormatan dan kenikmatan, semakin mereka merasa kurang bila ada yang melebihinya. Ada pula yang hidup dalam ketakutan kalau-kalau semua yang dimilikinya di dunia itu hilang, sehingga tak jarang mereka menghalalkan segala cara untuk mempertahankan status quo-nya.

Dalam permenungan-nya, Elisabeth mengajak kita untuk selalu memandang harta sejati kita yakni Allah yang hadir dalam lubuk hati kita. Allah adalah sumber ketentraman sejati bagi manusia yang datang kepada-Nya. Dia ada dalam segala situasi hidup kita di saat suka maupun duka. Elisabeth mengajarkan kita untuk melihat Allah itu sebagai seorang teman. Karena Allah itu hadir dalam lubuk hati manusia, Ia turut bergembira saat manusia bergembira dan turut bersedih saat kita pun dilanda kesedihan. Namun ia siap memberikan penghiburan dan kekuatan asalkan manusia itu datang kepada-Nya dan mempercayakan diri dan hidupnya kepada Allah. Persoalannya adalah manusia sering tidak menyadari kehadiran Allah dalam hati-Nya. Kita terlampau terbenam dalam kesibukan harian dan mudah putus asa saat tantangan menghadang karena kita lupa menyisihkan waktu untuk bersama Allah yang tinggal di dalam hati kita. Amat ironi jika kita sibuk mencari pemecahan masalah ke mana-mana, sedangkan jawaban itu justru terletak di dalam diri kita sendiri. Kiranya permenungan singkat ini membantu kita untuk menyadari kehadiran Allah dalam lubuk hati kita yang selalu berjalan bersama kita dalam berbagai peristiwa hidup. Ia menjadi sumber kekuatan dan sukacita selama manusia tidak melupakan Allah. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *