TENTANG RINDU
OLEH: FR. ASIS, OCD
Hujan dan pandemi tak kunjung reda padahal siang sudah dijemput senja. Senja dijemputi malam lalu batasan malam dijemput oleh sang fajar yang membatasi mimpi dan khayalan sang malam. Begitulah semuanya berotasi namun hujan dan pandemi belum juga reda.
Aku bertanya dalam diam, masalah apa yang terjadi pada hujan dan pandemi yang tak kunjung reda? Aku mulai bosan akan hal ini. Bertahan dalam keterpurukan. Ingin aku sudahi hidup ini meraih masa depan dalam ketidakpastian. Masa depan yang belum ada. Lalu mencoba membicarakan masa lalu yang tidak ada. Mencoba membicarakan masa sekarang yang hanyalah sebuah saat antara yang singkat di mana terbentang antara yang belum ada dan tidak ada lagi, masa sekarang yang terus aku sudahi.
Aku masih sendiri di sini duduk menyendiri dalam kamarku tidak begitu luas berukuran 2 kali 3 ini. Sempit pun tidak. Tidak ada hiasan bunga atau puisi cinta yang menjadi objek yang terindah dalam kamar kecilku. Hanya foto kamu Yustina yang tersimpan dan gambar Dia yang disalibkan di Golgota yang terpampang di sudut kamarku.
Bertahan di kamar membuatku semakin bosan menjalani kehidupan ini. Kenapa hujan dan pandemi belum kunjung reda? Apakah supaya ia dicatat dalam sejarah agar ia terbilang sebagai penguasa dunia yang paling ganas. Bukankah peristiwa yang hanya sekeping saja, misalnya peristiwa hujan yang sebentar saja mampu tercatat bahkan kekal dalam ingatan yang akan terus tersimpan dalam memori, lalu kenapa hujan dan pandemi C-19 belum kunjung reda.
Dalam kesendirianku aku teringat akan dirimu Yustina. Dan untuk menghilangkan rasa sepiku, aku mencoba menulis goresan pena tak beraturan ini. Yustina, jujur dirimu takan pernah aku lupakan dalam sejarah hidupku. Kamu gadis yang mampu menyimpan berbagai kisah yang diantar dan ditemani oleh hujan. Hujan yang menimbulkan rasa sedih dan kedinginan datang merambat pada sekujur tubuh kita yang mengajakku perlahan-lahan menggerakkan jari-jemariku lalu merekatkan jari-jariku di sekat-sekat jari-jarimu. Namun kini berbeda setelah hujan dan pandemi. Himpitan beban dan perasaan dilema akan perasaan cinta ini berbeda. Ingin aku sudahi hubungan ini. Lebih menyakitkan lagi bila kupandangi cuaca dan percik air yang masuk lewat lubang ventilasi yang mengajak saya untuk menghambur dalam dingin hujan menemuimu dan membasuh sedih dan kemesraan bersama di tengah rintiknya hujan. Aku tahu kamu pasti merindukan hal ini kan?
Yustina aku coba lagi memastikan kepadamu. Bukan aku tidak lagi menyayangimu. Bukannya aku tidak lagi mencintaimu, tapi aku berharap kamu mengerti akan situasi dunia saat ini. AKu tak mau bila kamu berpikir bahwa aku menghianatimu. Tidak! Aku tak mungkin menghianatimu, tetapi aku tak bisa berjumpa denganmu karena dunia sekarang yang diliputi oleh hujan dan pandemi yang membuat aku dan kamu harus menyendiri dulu.
Yustina aku memahami bagaimana perasaanmu sebagai seorang wanita yang membutuhkan kasih sayang. Namun aku sekarang diliputi oleh dilema moral, dilema yang muncul ketika dihadapkan kepada saya dua pilihan yang harus dipilih. Dua tindakan yang masing-masing tidak bersesuaian, yaitu masing-masing terlihat mewajibkan namun yang terbaik, hanya bisa melakukan salah satunya saja. Memilih untuk bertemu dirimu dan melepas rindu lalu dan membawa virus covid ataukah bertahan dalam keadaan seperti sekarang ini? Yustina kamu sendirikan tahu posisiku sekarang berada di zona merah ini. Dan karena itu Aku tidak mau menghancurkan dan mengganggumu dengan zona nyaman yang sedang kamu tempati saat ini. Aku tidak mau menjadikanmu sebagai korban. Memang cinta butuh pengorbanan namun cinta tidak berarti mengorbankan orang lain.
Yustina, Aku harus meyakinkanmu lagi pundakku mungkin takan selalu ada saat kamu bersedih dan menangis. Tapi cintaku akan selalu ada untukmu. Meski raga tidak bisa bersatu, namun cinta selalu hadir menemani keseharian meski saat sedih maupun bahagia. Yustina, Aku di sini dikuasai oleh kesunyian yang aneh dan hal yang mengerikan lagi dalam satu kehidupan adalah kebisuan. Hal yang paling aku benci.
Yustina, di sini hujan dan pandemi belum kunjung reda. Namun aku berjanji bila sudah, aku akan segera menemuimu, mendekatimu dan memelukmu seperti dulu-dulu lagi. Tapi kali ini tidak! Bahkan aku sekarang membatin dihajar oleh berbagai kenangan. Kenangan yang segera aku dan kamu jalani lagi. Aku di sini dihancurkan oleh memori akan kenangan yang membuatku semakin sedih, terutama bila malam lewat disertai hujan yang sering kita lewati bersama di lorong itu. Dan satu hal lagi ketika hujan yang sebentar saja yang meninabobokanmu padahal bahuku. Yustina ingat yang pernah aku katakan padamu bahwa “Hampa itu seperti langkah tak berjejak, senja tapi tak jingga, cinta tapi tak dianggap. Cinta memang buta. Tapi jangan samakan dengan cinta yang tidak tulus, yang berakhir patah hati karena tidak dianggap.” Itu bukan tipeku. Aku berharap kamu memegang semuanya ini.
Yustina, Aku di sini takut bila engkau tidak mempercayai apa yang kau katakan namun harus kamu ketahui. Di sini, di kota karang ini, ada begitu banyak problem. Kota yang kini menjadi zona merah setelah mendapat status zona hijau. Mungkin kamu bertanya: Apa yang membuat kota karang ini mendapat status demikian? Sebelumya aku minta maaf bukannya aku mau menghakimi manusia, namun karena realita telah berkata demikian banyak orang yang tidak peduli dengan seruan protokol kesehatan bahkan orang-orang berpendidikan menjadi pelaku utama! Lalu mengapa kota karang ini menerima status zona merah.
Yustina, aku mencoba membagikan pengetahuan yang aku dapatkan. St. Agustinus pernah mengatakan tentang keburukan yang ia katakan sebagai Malum Phisicum. Mungkin kamu tidak terlalu mengerti dengan hal ini, tapi aku mau mencoba menjelaskan Malum Phisicum adalah “keburukan yang datang dari alam bencana alam, namun kata Agustinus keburukan ini dapat dipulangkan kepada dosa manusia, yang merupakan akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh manusia. Ini disebabkan juga karena akibat dari kesalahan dan pelanggaran manusia”. Lalu kamu tentu tahukan pada akhirnya manusia selalu saja mempersalahkan Tuhan karena tidak segera meniadakan virus ini. Manusia yang tidak pernah merefleksikan lebih jauh siapakah yang harus dipersalahkan. Tuhankah? Atau kita manusia ini yang penuh dengan segala kesalahan?
Yustina, di sini hujan disertai Pandemi masih terus berpacu. Hujan yang datang menjenguk bumi sedangkan pandemi C-19 berniat menghancurkan dunia. Hujan dan pandemi dalam waktu bergulung bersama. Berujung pada tragisnya antara tangis dan isak. Antara bahagia dan kesedihan bersatu. Hujan dan pandemi menimpa manusia. Virus menyerang banyak orang. Kamu tentu tahu juga kan banyak orang ingin menolong tapi kamu tahu tak semuanya selamat hanya ada beberapa yang selamat, setidaknya orang yang mengalami himpitan boleh merasakan sebuah desahan nafas yang begitu lega.
Yustina aku tahu kamu sedih atau tidak kepastian aku bertemu denganmu. Aku tahu kamu pasti merindukan senja dan hujan. Aku juga menginginkan hal yang sama, merindukan hal yang sama. Akupun ingin membuka pertemuan kita nanti di Senja hari, di kedai kopi, di pinggir pantai sambil bermesraan disertai pelukan-pelukan hangat sambil menikmati kopi dan bersama-sama merasakan pahitnya kopi dengan sentuhan yang sama di bibir gelas yang sama. Tapi tidak demikian! Segalanya butuh perhitungan, bahkan juga untuk kata-kata yang seharusnya aku ucapkan dengan kejujuran. Karena kamu tahu ciuman di tengah pendemi ini mampu menular penyakit. Tapi sebagai manusia apalagi anak remaja tentunya ingin berbuat demikian. Aku pun ingin merekatkan tubuhku padamu. Yah, pada intinya aku ingin merasakan pelukan hangat dan ciuman terindah darimu Yustina, Aku merindukanmu tapi terhalang oleh jarak waktu. Rindu yang dibatasi oleh bentangan pulau. Rindu yang dibatasi oleh hujan dan pendemi ini. Tapi aku mau mengatakan satu hal kepadamu “Terkadang, rindu memang begitu jahat. Namun, dengan adanya rindu, aku dan kamu bisa belajar untuk menghargai apa yang kamu miliki. Apa yang aku miliki. Setidaknya, ketika kita terpisah jarak, ingatlah bahwa ada sosok yang selalu menemanimu meskipun tak rupa wujud, Dialah Sang Khalik.
Yustina ingat kamu seperti hujan, turun dan reda tak beraturan, sedangkan aku adalah tanaman yang setia menunggumu turun. Cinta dua sejoli memang tidak ada bandingannya. Bahkan, rasa rindu pun menjadi nikmat seperti hujan turun dan reda yang tidak beraturan. Asalkan aku tidak mau bila rinduku dan rindumu seperti pandemic C-19 yang tak kunjung reda, dan menghancurkan. Jatuh hati yang berujung pada jalinan cinta yang sedang kita jalani sekarang mengajarkan aku bagaimana memberanikan diri. Juga bagaimana menjadi sabar saat aku sendirian. Bagaimana aku bersabar menahan rasa rinduku. Yah, meski aku tahu, Segala yang jatuh memang sakit. Tapi jatuh cinta mengajarkan tulusnya rasa sabar seorang kekasih yang setia menunggu.
Kupang, Februari 2021