Para Kudus OCD

Santa Teresa dari Kanak-Kanak Yesus

Theresia Martin dilahirkan di kota Alençon, Perancis, pada tanggal 2 Januari 1873. Dia memiliki empat saudara perempuan yang lebih tua dan orang tuanya adalah Santo Louis Martin dan Santa Zelie Martin. Theresa seorang gadis yang sangat deria, ia sangat dicintai ayahnya yang memanggilnya nya dengan sebutan “Ratu kecil.”

Ketika Theresia masih kanak-kanak, ibunya meninggal dunia. Ayah Theresia lalu memutuskan untuk pindah ke kota Lisieux, di mana kerabat mereka tinggal.  Disana terdapat sebuah biara Karmel di mana para suster berdoa secara khusus untuk kepentingan seluruh dunia.

Ketika Theresia berumur sepuluh tahun, seorang kakaknya, Pauline, masuk biara Karmel di Lisieux. Hal itu amat berat bagi Theresia. Pauline telah menjadi “ibunya yang kedua”, merawatnya dan mengajarinya, serta melakukan semua hal seperti yang dilakukan ibumu untuk kamu. Theresia sangat kehilangan Pauline hingga ia sakit parah. Meskipun sudah satu bulan Theresia sakit, tak satu pun dokter yang dapat menemukan penyakitnya. Ayah Theresia dan keempat saudarinya berdoa memohon bantuan Tuhan. Hingga, suatu hari ia melihat patung Bunda Maria di kamarnya tersenyum padanya dan seketika ia sembuh  dari penyakitnya!

Theresia sangat mencintai Yesus. Ia ingin mempersembahkan seluruh hidupnya bagi-Nya. Ia ingin masuk biara Karmel agar ia dapat menghabiskan seluruh harinya dengan bekerja dan berdoa bagi orang-orang yang belum mengenal dan mengasihi Tuhan. Tetapi saat itu ia terlalu muda. Jadi, ia berdoa dan menunggu. Ia bahkan berani meminta ijin langsung kepada Paus. Hingga akhirnya, ketika umurnya lima belas tahun, atas ijin khusus dari Paus Leo XIII, ia diijinkan masuk biara Karmelit di Liseux.

Dalam biara Theresia menjalani kehidupan sebagaimana layaknya seorang Rubiah Karmelit. Tidak ada yang terlalu istimewa. Tetapi, ia mempunyai suatu rahasia: CINTA. Suatu ketika Theresia mengatakan, “Tuhan tidak menginginkan kita untuk melakukan ini atau pun itu, Ia ingin kita mencintai-Nya.” Jadi, Theresia berusaha untuk selalu mencintai. Ia berusaha untuk senantiasa lemah lembut dan sabar, walaupun itu bukan hal yang selalu mudah.

Para suster biasa mencuci baju-baju mereka dengan tangan. Suatu saat seorang suster tanpa sengaja selalu mencipratkan air kotor ke wajah Theresia. Tetapi Theresia tidak pernah menegur atau pun marah kepadanya. Theresia juga menawarkan diri untuk melayani suster tua yang selalu bersungut-sungut dan banyak kali mengeluh karena sakitnya. Theresia berusaha melayani dia seolah-olah ia melayani Yesus. Ia percaya bahwa jika kita mengasihi sesama, kita juga mengasihi Yesus. Mencintai adalah pekerjaan yang membuat Theresia sangat bahagia.

Hanya sembilan tahun lamanya Theresia menjadi biarawati. Ia terserang penyakit tuberculosis (TBC) yang membuatnya sangat menderita. Kala itu belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit TBC.  Ketika ajal menjelang, Theresia memandang salib dan berbisik, “O, aku cinta pada-Nya, Tuhanku, aku cinta pada-Mu!” Pada tanggal 30 September 1897, Theresia meninggal dunia ketika usianya masih duapuluh empat tahun. Sebelum wafat, Theresia berjanji  untuk tetap mencintai dan menolong sesama dari surga. Sebelum meninggal Thresesia mengatakan, “Dari surga aku akan berbuat kebaikan bagi dunia.” Dan ia menepati janjinya! Semua orang dari seluruh dunia yang memohon bantuan St. Theresia untuk mendoakan mereka kepada Tuhan telah memperoleh jawaban atas doa-doa mereka.

Setelah wafat, Theresia menjadi terkenal setelah buku catatan yang ditulisnya diterbitkan menjadi sebuah buku  “Kisah Suatu Jiwa,”  satu tahun setelah kematiannya (di Indonesia diterjemahkan dengan judul: ‘Aku Percaya akan Cinta Kasih Allah’).

Theresia dikanonisasi pada tahun 1925 oleh Paus Pius X. Ia dikenal dengan sebutan Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus atau Santa Theresia si Bunga Kecil.

Tanggal 19 Oktober 1997, Theresia  menjadi wanita ke-3 yang diberi gelar Doktor Gereja.

Santa Teresia Benedikta dari Salib

Edith Stein adalah seorang filsuf Jerman keturunan Yahudi, guru besar, pejuang feminis dan biarawati dari Ordo Karmel Tak Berkasut (OCD). Ia lahir pada tanggal 12 Oktober 1891 di Breslau, Jerman (kini Wroclow, Polandia). Ayahnya bernama Siegfried Stein dan ibunya Augusta Stein. Ia berasal dari keluarga Yahudi yang saleh dan taat. Ketika usianya baru 1 tahun 9 bulan, ayahnya meninggal dunia karena stroke. Kepergian ayah terkasih mengharuskan ibunya untuk bertanggung jawab mengurus perusahaan kayu dan dalam mendidik serta membesarkan anak-anaknya yang berjumlah sebelas orang. Akan tetapi tiga orang meninggal ketika masih kanak-kanank. Edith sendiri adalah anak bungsu dari sebelas bersaudara. Namun ia dikarunia kecerdasan yang luar biasa. Ia dididik secara keras oleh ibunya untuk senantiasa merenungkan Talmud siang dan malam.

Pada usia 6 tahun, tepatnya pada tanggal 12 Oktober 1897, Edith masuk Sekolah Dasar (Viktoriaschule). Sesudah tamat SD, ia memutuskan untuk masuk Gymnasium agar dapat melanjutkan studi di universitas. Teman-temannya di Gymnasium berkisah bahwa Edith adalah seorang yang cerdas, rajin, sederhana dan rendah hati. Kemudian ia melanjutkan studi di Universitas Breslau pada usia 19 tahun. Dalam perkuliahan, ia memilih jurusan filsafat. Menurutnya, filsafat adalah jalan yang tepat untuk menemukan kebenaran. Filsafat membantunya untuk mencapai kebenaran tentang dirinya dan tentang dunia.

Dalam petualangannya menuju kebenaran, ia kemudian berkenalan dengan Dr. Edmund Husserl, pengajar filsafat terkemuka yang tengah mengajar di Universitas Göttingen. Namun dalam kesaksiannya, ia menandaskan bahwa selama studi di universitas, ia adalah seorang ateis. Ia menyukai musik, menulis puisi, permainan kreatif, menari, mendaki gunung, berlayar, tenis, teater, konser dan sastra. Akan tetapi, kesaksian bahwa ia adalah seorang ateis bukanlah kesaksian terakhir dalam hidupnya.

Pada musim panas 1921, tepatnya di rumah sahabatnya Hedwig Kondrad-Martius di Bergzabern, Edith Stein membaca Riwayat Hidup St. Teresa dari Avila. Usai membacanya, Edith Stein menyatakan dengan pasti: “Inilah kebenaran”. Ia kemudian bertobat dan memberi diri dibaptis pada tanggal 1 Januari 1922. Namun ibunya tak dapat menerima keputusannya masuk Katolik. Tak lama sesudahnya, pada tanggal 14 Oktober 1933, ia memutuskan untuk hidup membiara. Ia memilih menjadi rubiah Karmelit dalam Ordo Karmel Tak Berkasut di Köln, Jerman, dengan nama suster Teresa Benedikta dari Salib. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 14 September 1936, ibunya meninggal dunia karena penyakit kanker. Namun sebelum ibunya beralih dari dunia ini, ia telah dengan ikhlas dan penuh kegembiraan menerima keputusan anaknya terkasih, Edith Stein untuk masuk Katolik dan hidup membiara.

Selanjutnya, dalam dunia pedagogik, ia pernah menjadi asisten Edmund Husserl di Universitas Freiburg, penerjemah karya Thomas Aquinas, Quaestiones disputatae de Veritate, yang diterbitkan dalam dua jilid dan mengajar di Institut Ilmu Pendidikan di Münster. Ia juga memberikan perkuliahan atau seminar di Jerman, Austria, Swiss dan Prancis.

Meski demikian, pada tanggal 2 Agustus 1942 bersama saudaranya Rosa, mereka dideportasi oleh tentara Nazi menuju Kamp Konsentrasi di Auschwitz dan pada tanggal 9 Agustus 1942, Edith Stein mati dalam kamar gas beracun. Kematiannya sebagai martir membawa suatu kisah baru tentang dirinya yaitu bahwa pada tanggal 1 Mei 1987, Edith Stein dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II di Köln, Jerman.  Sebelas tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 11 Oktober 1998, ia dikanonisasikan menjadi santa oleh Paus Yohanes Paulus II di Roma di Basilika St. Petrus. 

Masa Kecil

Putri-putri keluarga Stein dari Bresleu bersama beberapa teman, yang sedang bertamu di rumah ibu Stein, mereka akan bermain kwartet. ”Bolehkah saya ikut?” terdengar suara si kecil Edith yang berumur 4 tahun. ”Tidak  Jitschel, kamu kan belum bisa membaca!”  Sebentar Edith cemberut. Tapi lalu ia menerima nasibnya, dan sambil mengikuti jalan permainan dengan penuh minat. Kartu itu bergambar sastrawan-sastrawan Jerman, dan gadis-gadis itu harus saling meminta  serinya; ini paling sukar. Tetapi Edith lalu memperdengarkan suaranya, menyebutkan namanya atau menunjuk dengan jarinya dimana terdapat seri itu.

”Tutup mulut”, kata seorang kakaknya.

”Bagaimana kamu tahu itu semuanya?” tanya seorang teman keheranan.

”Begitu aja!” jawab si kecil, sambil mengangkat bahunya.

Keakraban dengan Paul, abangnya yang besar membuat Edith mengetahui banyak hal. Ia diajari menyayikan lagu-lagu mahasiswa dan mengenal dan menghafal sejumlah sastrawan. Muncul keinginan untuk mengetahui banyak, sejak terdengar kata-kata. ”Kamu belum bisa membaca!” Keinginan itu mulai terwujud, dengan suatu tekad untuk mau ikut sekolah. Namun sesudah beberapa waktu, atas saran guru TK Ibu Stein menahan saja lagi anak bungsunya di rumah. Karena ia terlalu mendahului teman-temannya dan ibu guru tidak punya cukup kesibukan untuk anak ini. Dan di rumah ia terlalu merepotkan, karena Edith harus dipaksa pergi ke sekolah, di mana ia merasa bosan.

Pada tanggal 12 Oktober 1897, tepat pada hari ulang tahunnya, Edith kecil benar-benar masuk ”sekolah besar”. Pada hari itu tak ada anak yang lebih bahagia dari pada dia di seluruh kota Breslau. Else, kakak sulungnya berhasil merayu kepala sekolah, supaya Edith boleh masuk, kendati tahun pelajaran sudah dimulai dua bulan yang lalu. Selain itu, keluarga Edith juga sudah lama dikenal oleh kepala sekolah ini. Dan yang ia tahu anak-anak keluarga ini semuanya pintar-pintar. Pasti warisan dari ibunya, janda seorang pedagang kayu, yang beberapa tahun yang lalu dari Lubliniz pindah ke Breslau.

Edith sungguh tahu betul bahwa orang-orang besar sedikit menganggap dia sebagai anak ajaib, sehingga biarpun masih sekecil itu, dia sangat gila hormat. Namun sifat gila hormat itu memacu dia untuk belajar dengan sekuat tenaganya. Kalau ia tidak mengejar anak-anak lain, bisa jadi nanti ia tinggal kelas. Berkat kerajinan dan bakat-bakatnya, sudah sejak natal ia berhasil merebut juara satu dikelasnya. Dan ia akan tetap mempertahankan juara satu atau dua , selama ia duduk di sekolah dasar.

Perlahan-lahan Edith berkembang menjadi seorang gadis manis dan rendah hati. Ia mampu mengalahkan rasa gila hormatnya dan teman-teman sekelasnya menyatakan, bahwa ia tidak pernah membanggakan kepintarannya, melainkan selalu membantu anak-anak lain. Semua menjadi keheranan ketika Edith tidak mau melanjutkan sekolahnya sesudah lulus SD.

Edith selalu merasa bahwa ia menduduki tempat istimewa dalam hati ibunya, karena ia lahir pada hari Pendamaian Agung. Edith mengingatkan ibunya pada kenangan terakhir kepada suami yang tercinta, yang terlalu cepat dipanggil Tuhan. Edith yang belum berumur 2 tahun memanggil: ”Papa”, ketika bapanya akan berangkat untuk bisnisnya. Bapa menoleh, menggendong Jitschel kecil sebentar lalu cepat-cepat keluar. Pelukan terhadap si bungsu adalah yang terakhir dilihat ibu Stein. Di perjalanan ia terserang penyakit dan dibawa pulang sebagai jenazah.

Dilihat secara manusiawi kematian yang terlalu dini ini menimpa keluarganya Edith pada saat yang tidak tepat. Kesulitan dalam perusahaan kayu menyebabkan Siegfried Stein memindahkan usahanya dari Lublinitz, Silesia Utara ke Breslau, di mana ia mengharapkan hasil yang lebih baik. Baru saja usahanya mulai berjalan, pria 48 tahun itu direnggut dari keluarganya. Pihak keluarga ibu Stein mendesak, supaya ibu Stein melepaskan perusahaan yang rumit ini dan tinggal lagi di Lublinitz, di tengah-tengah keluarganya. Namun ibu Stein yang trampil itu, tidak menghiraukan nasehat tadi, bersenjatakan kepercayaan akan Penyelenggaraan Ilahi yang kuat, yang menjadi ciri khas bangsanya, dia sendiri memikul tanggung jawab usahanya ini. Ia tetap mengelola perusahaan kayu ini sampai dihari tuanya. Namun anak-anaknya memandang kejayaan ini lebih berkat kemurahan hatinya terhadap orang-orang miskin dari pada karena ketrampilannya.

Iman Edith Stein Akan Kebenaran

Agusta Stein-Courant adalah seorang Yahudi yang sangat beriman dan setia pada peraturan, yang tiap-tiap hari mengajarkan rasa takzim pada Tuhan. Maka ibu yang saleh ini amat kecewa ketika dilihatnya Edith remaja, yang berminat untuk segala-galanya kecuali sesuatu yang ada hubungannya dengan agama. Dalam sinagoga tak ada sesuatupun yang menarik minat gadis ini. Ia hanya seringkali menerawang ibunya, tidak dapat mengerti bahwa ibu dapat begitu khusuk mengikuti doa-doa di sana. Bahkan bagi Edith doa-doa pagi, siang, dan malam yang panjang dirasa sebagai gangguan yang tidak menyenangkan. Memang ketika masih kecil ia suka mendengarkan cerita-cerita bagus dari Perjanjian Lama dan pesta-pesta Yahudi yang dirasanya bagus. Namun bagi dia Allah segera menjadi Allah yang menakutkan dan yang tak dapat dicintai.

Hal ini memberi bayangan gelap dalam jiwa Edith, membuat dia penakut dan tidak yakin. Tak seorang pun menduga, bahwa dalam diri anak sekolah menengah ini kekuasaan-kekuasaan gelap sedang bekerja, yang mulai merong-rong kepercayaannya ketika masih kecil. Edith tidak membicarakannya dengan siapa pun juga, karena ia berwatak terlalu tertutup. Di sekolah, ia belajar melihat segala sesuatu dengan mata rasionya, artinya, apa yang tidak dapat dimengerti dengan daya nalar, juga tidak diterima. Dengan demikian Edith cepat kehilangan iman akan Tuhan dan ia sendiri mengakui, bahwa ia menjadi ateis sejak usia 13 sampai 21 tahun. Namun baik Edith maupun ibunya tak tahu adanya Gembala Baik, yang melalui jalan yang jauh dan lorong-lorong yang tak dikenal untuk mencari anak domba yang sesat di antara duri-duri. Domba seperti itulah Edith bagi Dia. Ketika masih sekolah di Breslaulah, Edith pertama kalinya merasakan hembusan lembut napas-Nya.

Suatu hari ia sedang duduk di ruang kuliah mendengarkan professor yang membahas doa Bapa Kami dalam bahasa Jerman kuno Gotik. Ia menjelaskan bermacam-macam ilmu bahasa tentangnya. Tetapi tiba-tiba Edith tidak dapat lagi mengikuti uraiannya. “Bapa Kami yang ada disurga…” Bapa Kami? Bapa? Begitu umat Kristen menyebut Allah mereka! Edith sangat terharu memikirkannya. Edith mengikuti dengan sepenuh hati dan kecerdasan otaknya, ceramah-ceramah professor ini dan perdebatan dari para mahasiswa. Pandangan-pandangan ateisnya mulai goncang dan untuk pertama kalinya ia mulai sibuk dengan adanya Tuhan serta hubungan-Nya dengan manusia. Banyak diantara mahasiswa menemukan jalan menuju kekristenan yang sungguh-sungguh dihayati, tetapi Edith sama sekali tidak mengatakan untuk melakukan yang sama.

Semangat Edith yang pertama bagi fenomenologi, (demikian nama filsafat modern dari professor Husserl); pada waktu itu sudah lama dingin. Dia melihat bahwa falsafah inipun tidak membawa kepada inti kebenaran, yang sangat dirindukannya. Ia seringkali berkunjung ke rumah Dr. Reinach, yang acap kali membantunya mengatasi ketidakpastiannya. Akan tetapi, sementara ia dari satu sudut merasa jiwanya diangkat memasuki suatu iman akan Allah yang hakiki dan sungguh-sungguh ada, namun dari sudut lain ia merasa tenggelam ke dalam lubuk yang lebih dalam lagi dari rasa tidak puas dan kekosongan hati dan budi.

Tentu saja ia tidak mengerti bahwa Sang Gembala Baik yang mencari dia, sedang membuka jalan menorebos semak-semak lebat kebijaksanaan manusiawinya beserta semua perlawanannya. Edith yakin bahwa ia akan menjumpai seorang wanita yang putus asa, hancur karena kesedihannya. Padahal ia bertemu dengan seorang Kristen, memang dari keturunan Yahudi, akan tetapi yang telah menemukan dalam Allah seorang Bapa dan yang dalam sikap patuh akan keputusan-Nya berkata: “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga!”

Bagi Edith teladan ini merupakan salah satu rahmat yang terbesar. Tak lama menjelang kematiannya sendiri yang kejam, ketika itu ia masuk rubiah Karmel dan memilih nama religiusnya Sr. Benedikta dari Salib, ia mengakui hal ini kepada seorang imam: “Inilah perjumpaanku yang pertama dengan Salib dan kuat kuasa Ilahi yang diberikan-Nya kepada mereka yang memikulnya. Untuk pertama kalinya kulihat Gereja yang telah dilahirkan dari Sengsara Sang Penebus, dalam kemenangannya atas maut, terasa olehku. Itulah saatnya ketidakpercayaanku runtuh, agama Yahudi memudar dan terang Kristus terbit bagiku. Dari Kristus dalam misteri Salib. Sebab itu pada waktu pemilihan nama religius dalam Ordo Karmel, aku tidak punya keinginan lain daripada disebut “dari Salib”.

Di musim panas 1921, empat tahun sesudah ia lulus, Edith menginap di rumah temannya, Hedwig Conrad-Martius di Bergzabern, di kaki gunung Haardt. Pada suatu hari dimusim panas, Hedwig dan suaminya harus bepergian, dan terlalu jauh untuk pulang hari itu juga. Edith tinggal sendirian. Tetapi ia menyukai kesunyian, maka sama sekali tidak akan bosan. Menjelang malam ia masuk ke perpustakaan temannya itu dan meraih sebuah buku begitu saja. Buku itu adalah Riwayat Hidup pemugar Ordo Karmel. St. Teresa dari Avila. Edith membuka buku itu, mulai membaca dan segera begitu tertawan, sehingga lupa waktu dan tempat. Suatu dunia baru terbuka baginya. Ia membaca, berpikir, dan membaca lagi.

Lonceng berbunyi sebelas kali, dua belas kali, satu kali. Sunyi senyap, Edith terus membaca. Ketika ia membuka halaman terakhir, sang surya telah memancarkan sinarnya yang pertama. Edith tidak menutup bukunya. Tangannya terletak di atas otobiografi seorang kudus. Ia tetap dalam posisi duduk. Tiba-tiba ia melompat: “Itulah Kebenaran!” katanya yakin. Ia tergetar oleh rasa terang dan bahagia. Telah bertahun-tahun ia mencari kebenaran. Itulah tujuan semua studi dan pencariannya.

Sekarang ia tiba-tiba saja tahu: “Tuhan bukanlah Tuhan dari ilmu pengetahuan, melainkan Allah cinta kasih. Dia tidak dapat diraih oleh daya nalar, melainkan dengan hati, yang berpasrah kepada-Nya dalam iman dan kasih”. Dan Edith percaya dan menyerah, seutuhnya dan untuk selamanya! Esok harinya ia membeli sebuah buku Misa dan sebuah Katekismus. Kedua buku kecil itu berhari-hari lamanya menjadi pusat perhatiannya. Ketika dirasanya bahwa ia sudah cukup mempelajarinya, untuk pertama kalinya ia masuk ke sebuah Gereja Katolik. Dengan mudah saja ia mengikuti Perayaan Ekaristi, yang dipersembahkan oleh Pastor Breitling. Misteri Agung yang terlaksana di sana bergema dalam lubuk hatinya. Seusai Misa ia mengetuk pintu pastoran, dan tanpa banyak bicara dikatakannya kepada pastor bahwa ia ingin dibaptis.

Merindukan Tempat Sunyi

Ketika Edith seusai sekolah menengah, ia harus menentukan lebih lanjut arah studinya, dan ia memilih bahasa-bahasa Jerman, agar nantinya dapat diangkat menjadi guru. Tetapi ternyata kemudian lain sekali jadiya. Ilmu pengetahuan menuntut seluruh dirinya sebagai asisten professor Husserl. Tugas pokoknya di sana ialah mempersiapkan para mahasiswa yang baru datang dengan kursus persiapan bagi kuliah professor tersohor itu. Tetapi sesudah ia dibaptis, seluruh pribadinya terarah kepada Allah dan semakin ingin masuk ke dalam Dia, ia sudah tidak kerasan lagi di dunia universitas. Ia kembali kepada rencananya dahulu dan merindukan sudut yang tersembunyi, di mana ia dapat mengajar puteri-puteri. Yang paling diingininya, ialah langsung masuk salah satu biara Karmel. Romo Schwind, pembimbing rohaninya, untuk sementara tidak setuju. Dia mengira rencana Tuhan adalah bahwa Edith mengabdi kepada Gereja lewat ilmunya. Namun, ia memahami betul bahwa Edith merindukan tempat yang sunyi, yakni jauh dari dunia yang luas, untuk menghabiskan waktunya.

Kebajikannya

Sebagai kanonik yang terikat pada katedral di Speyer, dimana Edith menerima sakramen Krisma, tidak sulit baginya menemukan tempat yang demikian itu. Ia mendengar bahwa para suster OP di sana mencari seorang guru bahasa Jerman untuk mengajar di sekolah mereka. Segera dibuat perjanjian: Edith diangkat menjadi guru di sekolah menengah. Pada awal tahun 1923 biara tua itu yang mempunyai pelbagai sekolah menyambut kedatangan Edith dengan kata yang sangat dicintainya “Veritas” – “Kebenaran” yang diukir di atas pintu gerbang. Maka Edith pun segera merasa kerasan. Yang dibutuhkannya hanya sebuah kamar yang tenang, makanan yang sederhana dan gaji ala kadarnya. Sebagai imbalan, Edith akan memberikan selama delapan tahun: Seluruh kebaikan hatinya, segenap kebijakan jiwanya, segala pengertian yang halus bagi semua kebutuhan dan masalah para muridnya dan dari para suster. “Fraulein (nona) Doktor”, begitu ia disapa, seperti juga di Freiburg, dalam waktu yang sangat singkat telah merebut semua hati. Terpancar keagungan hati, yang sama sekali tidak disadarinya sendiri, namun yang menawan dan menarik semua orang di sekitarnya, sehingga meimbulkan rasa percaya semua orang.

Kalau berbincang-bincang dengan dia, biarpun hanya sebentar sekali, membuat orang pergi sebagai seorang manusia yang lebih baik. Edith tidak mengenal pamrih, tak seorang pun dari muridnya yang merasa dirinya diremehkan, dan tak seorang pun diperlakukan tak adil. Suatu teguran, nasihat, bahkan hukuman selalu ada hasilnya. Ia memberikannya dengan cara yang begitu manis, sehingga setiap pembangkangan langsung saja hilang.

Dengan kesederhanaan yang tidak dibuat-buat, hampir tidak kentara, dia memenuhi kewajibannya; Selalu sama ramah dan kesediaannya bagi semua yang mengharapkan bantuannya. Bukan hanya anak-anak yang meminta bantuannya, pun para suster datang pada nona Doktor. Lebih tepat, Edith menawarkan diri untuk membantu para suster. Ada suster-suster muda yang harus masuk universitas. Edith bersedia memberikan mereka kursus persiapan, seperti dahulu yang dilakukannya bagi para mahasiswa yang baru tiba di Freiburg. Para novis di Speyer harus dibiasakan dengan bahasa Latin, supaya dapat mendoakan Ibadat Harian. Edith memberikan mereka les bahasa Latin. Tetapi seperti di dalam kelas, di sini pun ia memberikan semuanya. Apa yang dikatakannya kepada para suster muda ini lewat kata-kata dan teladannya, sangat berharga bagi pembinaan rohani mereka dan membuat mereka kemudian menjadi tenaga-tenaga yang terbaik bagi kongregasi mereka.

Ada juga fakir miskin dan yang sakit dari Speyer. Bagaimana Edith yang hidupnya amat tersembunyi, mengetahui alamat mereka? Entahlah. Tetapi, berkali-kali ia memasuki rumah mereka, yang membawakan suatu surprise atau kejutan, menyampaikan beberapa kata yang manis dan memberikan senyumnya. Waktu Natal, bingkisan-bingkisan tidak saja dikirim kepada keluarganya yang semakin besar, tetapi juga kepada orang yang berkekurangan di sekitar biara. Bagi mereka, Natal juga harus menjadi suatu pesta! Jika ada pesta bagi anak-anak atau bagi para suster sendiri, Edith tahu suster siapa yang “Berkekurangan”, karena di rumah jauh lebih sibuk. Dan ia tahu jalannya untuk membantu.

Pada hari pesta orang mendapatkan Edith di dapur, membantu mencuci piring dan cangkir. “Bagi orang lain ia selalu punya waktu” tulis seseorang tentang dia. “Segalaya untuk semua orang”, itulah semboyan Edith sejak ia menjadi Kristen dan dalam hal itu ia menjadi contoh bagi semua. Akan tetapi, kesan terdalam yang diberikannya kepada para suster mau pun murid-muridnya, ialah doanya di kapel yang penuh takzim dan lama. Siang hari tak ada banyak waktu untuk berdoa, akan tetapi bila buku anak-anak sudah dikoreksi, surat-menyurat sudah selesai, maka ia berjam-jam lamanya tinggal di kapel, dan tenggelam dalam doa.

Pagi-pagi ia sudah hadir lagi, sebelum para suster masuk. Hanya dia sendiri yang dapat kadang-kadang seperti St. Dominikus, yang sepanjang malam berdoa di dekat Tabernakel, lalu besok paginya dengan wajah segar bugar ia melanjutkan karya apostoliknya, seperti juga yang dilakukan Dominikus. Betapa pun ini bercorak Dominikan, Edith tetap setia kepada cita-cita Karmelnya dan tak seorang pun teman serumahnya menduga betapa besar kerinduannya untuk masuk Karmel. Edith merasa bahwa mencari dan menemukan ilmu pengetahuan duniawi sudah tidak bernilai lagi, setelah ia menemukan Tuhan.

Saat Akhir Bersama Keluarga Sebelum Masuk Biara

Bagi Edith cukup berat, memberi pukulan yang pertama kepada ibunya yang senantiasa menjadi pusat hidupnya, dengan berkata bahwa ia telah menjadi Katolik. Ia tidak mau melakukannya secara tertulis. Ia mau mengakuinya secara pribadi, dan untuk maksud tersebut ia pergi ke Breslau. Lama Edith menunggu kesempatan yang tepat untuk hal ini.

Suatu hari semua pergi dan ia tinggal sendirian dengan ibunya di kamar. Mereka duduk berdiam diri. Ibu memandangi Edith penuh tanda tanya, ia telah mendengar banyak yang baik tentang kecerdasannya tetapi tetap begitu sederhana. Edith menatap ibunya. Tiba-tiba ia bangun, berlutut di depan ibu. Dirahinya kedua tangan ibu. Dengan tenang dan yakin ia mengucap pengakuannya: “Mutter, ich bin Katholisch!” Ibu saya sudah menjadi Katolik. Ibu tua itu menatap anaknya dengan bengong. Heran! Lalu matanya berlinang-linang, dan membasahi wajahnya yang kisut. Wanita kuat, yang telah menjadi tegar karena prjuangan hidup ini, menangis! Edith belum pernah melihat ibunya menangis. Ini terlalu berat baginya. Edith siap menerima teguran yang tajam. Ia kwatir akan diusir dari rumah. Akan tetapi air mata ini, ungkapan kesedihan hati terdalam…. Sekarang Edith pun menangis.

Dalam keluarganya, umat Katolik selalu dianggap sekte yang hina. Berita bahwa Edith, yang bergelar filsuf itu telah menjadi Katolik, terasa bagaikan disambar petir. Akan tetapi Edith berusaha dengan cinta kasih mengurangi “gap” antara dia dan keluarganya. Dalam waktu setengah tahun ia berada di rumah, ia ikut serta dengan mesra dalam semua kebiasaan Yahudi. Setiap hari sabat ia menemani ibunya ke Sinagoga. Dari buku Ibadat Harian, yang dipakainya setiap hari sesudah ia masuk Katolik, ia mengikuti mazmur-mazmur yang dipakai dalam ibadah Yahudi. Ibu sangat heran karenanya. Terlebih lagi ia sangat terkesan karena kekhusukan anak bungsunya. “Belum pernah aku melihat Edith berdoa seperti sekarang”, katanya kepada kenalan-kenalannya. Akan tetapi ketika pada akhir ibadah didoakan “Syemah Israel”, ibu memeluk Edith dan berkata “Kamu dengar itu nak?” Akan tetapi mata Edith yang menatap ibunya, memancarkan kebahagiaan jiwa dari imannya yang sekokoh wadas akan Allah yang Tritunggal.

Maka setiap pagi, bila dirasanya semua di rumah masih tidur, diam-diam Edith pergi untuk merayakan Misteri Ekaristi dan Komuni. Tetapi ibunya selalu mendengar kalau ia pergi. Pasti dengaan hati yang berdarah ia bertanya kepada Allah Israel, mengapa anak ini, yang begitu dicintainya, karena dilahirkan pada hari raya Pendamaian, diutus ke padang gurun, yang begitu sepi, begitu jauh dari tanah air leluhur.

Pada tanggal 12 Oktober Edith merayakan hari ulang tahunnya yang ke 42. Pagi-pagi ia menghadiri Misa. Lalu bersama ibunya pergi ke sinagoga. “Aduh, nak!” keluh ibunya. Ketika ia diperjalanan pulang, dibantu oleh Edith, duduk di bangku trem. Hati Edith terasa diiris-iris. Sesudah ia sendiri duduk, ia bergegas berkata: “tahap pertama hanya merupakan masa percobaan.”  “kalau kamu memasuki suatu masa percobaan, aku sudah tahu, bahwa kamu akan lulus.” Dengan sedih wanita itu memandang keluar. Sesudah beberapa saat katanya: “mari kita turun saja. selebihnya aku dapat berjalan.” Edith mengerti isi hati ibunya. Ibu ingin berbincang-bincang lagi dengan tenang. Edith membantu ia turun, menggandengnya. Rasanya belum pernah ibu bersandar begitu berat padanya, belum pernah begitu bungkuk. Sekali-kali mereka mengucap sepatah kata. Tetapi percakapan itu tidak dapat lancar. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri, yang pada keduanya ditutup dengan “ini terakhir kalinya, kita berjalan bersama!” perpisahan yang penting akan terjadi besok pagi. Akhirnya kerinduan Edith akan terpenuhi.

Pada hari raya St. Teresa Avila, tiga hari kemudian, biara karmel “Maria vom Frieden” di Koln akan membuka pintu gerbang bagi dia. “Tidak baguskah khotbahnya, Edith?” sela ibu, memecah kesunyian. “pasti, bu!” “jadi sebagai orang Yahudi orang bisa juga saleh?” desak wanita tua itu. “Benar, bu, kalau orang belum mengenal sesuatu yang lain” lalu Edith merasa lengan ibunya gemetar di atas lengannya. Wajah ibu begitu tua dan keriput, amat sangat sedih, ketika ia menatap Edith. Hampir-hampir dengan kasar katanya: “mengapa engkau mengenalnya?… Aku tidak mau berkata yang jelek tentang Dia. Mungkin Dia orang baik. Tetapi mengapa Ia menjadikan dirinya Allah?” Bulan-bulan terakhir sebelum masuk biara dibaktikannya sepenuhnya kepada keluarganya. Mereka semua mengungkapkan kerisauan mereka tentang masa depan mereka, kepadanya. Tetapi terutama kakaknya Rosa mencari sokongan dan nasihat pada Edith. Sebab dia pun telah menemukan jalannya menuju Kristus, pun dia percaya akan Pewartaan Injil. Akan tetapi demi ibunya yang tua dan kedamaian di dalam rumah, dimana ia telah bertahun-tahun lamanya mengurusi rumah tangga, ia masih belum dapat menerima Sakramen Baptis.

Malam itu toh masih menjadi malam gembira, terutama karena keramaian keponakan-keponakan yang kecil, yang berdesak-desakan mengelilingi Tante Edith dan nenek. Lama kelamaan semua pulang. Akhirnya tinggal Edith sendirian bersama ibunya. Lagi-lagi, seperti ketika Edith mengaku: “Mutter, ich bin Katholisch”, wanita tua itu menangis pada dada anaknya. Bagi Edith ini jauh lebih berat dari pada semua tantangan dari ibunya, kakak-kakak iparnya, abang-abangnya, sejak mereka tahu, bahwa Edith akan masuk biara. Kemudian ia sendiri menulis: “Aku harus melangkah dalam kegelapan iman semata-mata. Selama pecan-pekan ini aku berpikir: Siapa gerangan akan kalah lebih dahulu, ibuku atau aku?” Namun kami sama-sama bertahan sampai hari terakhir.

Akhirnya ibu tua itu membiarkan dirinya dihantar Edith ke kamar tidurnya. Untuk pertama kalinya seumur hidup Edith membantu ibu membuka pakaiannya. Lama Edith duduk di pinggir tempat tidur ibu. Lagi mereka terdiam lama sekali, tetapi ibu memegang erat-erat tangan Edith. Akhirnya ia menyuruh sendiri anaknya supaya pergi tidur.

Besok paginya, ketika tiba saat untuk berangkat, Edith benar-benar harus merobek dirinya dari ibunya yang menangis meraung-raung. Hanya berkat kekuatan Kristus yang tinggal dalam dirinya, ia mampu melakukannya. Ketika trem yang menuju ke stasiun melewati rumahnya, sekali lagi Edith memandang ke atas, seperti biasa dilakukannya, bila ia pergi lagi. Selalu ibunya berdiri di sana melambaikan selamat jalan. Sekarang tak ada siapapun juga. Selama tiga tahun masih hidup, tiap-tiap minggu Edith akan menulis surat kepadanya. Ini satu-satunya permintaannya ketika ia memohon diterima Karmel. Setiap minggu tukang pos juga membawa sepucuk surat dari rosa. Namun tak pernah ibunya menulis biar hanya salam saja.

Filsuf dan Martir

Edith kecil dikenal sebagai anak yang perasa, dinamis, energik dan pemarah. Untungnya, pada usia 7 tahun mulai berkembang sifat refleksifnya, demikian juga kecerdasan dan keterbukaannya pada aneka hal yang ada di sekitarnya.

Di usia remaja Edith mengalami krisis dan pernah meninggalkan sekolah dan agama. Ia tak puas dengan ilmu yang diterimanya dan tak menemukan makna bagi hidupnya. Keadaan ekonomi keluarga memaksa Edith untuk bekerja sambil kuliah.

Berkat kepandaiannya, dia diizinkan mengajar di sekolahnya sambil mengikuti kuliah literature Jerman dan sejarah di Universitas Breslau. Kemudian ia melanjutkan belajar psikologi dan filsafat fenomenologi yang diajarkan oleh Edmund Husserl di Universitas Gottingen. Setelah mendapatkan gelar Doktor, Edith diminta oleh dosennya Edmund Husserl menjadi asisten dosen di Universitas Freirburg. Tugas akademis yang pada masa itu belum pernah diberikan kepada seorang perempuan.

Perjumpaan dengan Hedwig Conrad, janda Adolf Reinach yang meninggal akibat kekejaman Nazi, menjadi titik awal pergulatan imannya. Edith Stein mengagumi iman Hedwig yang dapat menerima kematian suaminya dengan besar hati sebagai kesempatan ambil bagian dengan penderitaan Yesus. Dalam diri filsuf muda ini mulai muncul dorongan untuk menjadi Katolik.

Di lain pihak, dia gelisah karena tak ingin mengecewakan keluarga besarnya yang menganut agama Yahudi. Setelah membaca riwayat hidup santa Teresa Avila, keputusannya untuk menjadi Katolik makin diperteguh karena menemukan ‘kebenaran’ yang selama ini dicarinya. Pada usia 30 tahun Edith dibaptis di Gereja St. Martinus, Bergzabern. Dua belas tahun Edith membaktikan diri untuk mengajar, belajar, menulis dan memberikan banyak ceramah, membagikan pengetahuan filsafatnya dan memperdalam hidup rohani. Akhirnya pada usia 42 tahun dia memutuskan masuk biara Karmel yang becorak hidup kontemplatif klausura di Koln-Jerman, dengan memakai nama biara Sr. Teresia Benedikta dari Salib.

Gerakan anti Yahudi di Jerman memaksanya untuk mengungsi ke Belanda. Namun, akhirnya dia ditangkap tentara Nazi bersama kakaknya Rosa dan dibunuh di kamar gas di Auschwitz pada 9 Agustus 1942.

Paus Yohanes Paulus II berkenan menganugerahi filsuf, rubiah dan martir Yahudi yang rela mati bagi bangsanya ini dengan gelar Beata pada 1 Mei 1987 dan gelar santa dimaklumkan pada 11 Oktober 1998.

Spiritualitas Edith Stein

Penyerahan dirinya kepada Tuhan terlihat dalam kesetiaan Edith Stein pada doa, baik pribadi maupun doa bersama. Baginya, doa dan kehidupan begitu menyatu dalam perbuatan nyata mengasihi sesama. Di tengah kesibukannya, Edith tetap mencari saat hening agar dapat berbicara mesra dengan Tuhan.

Selain mengagumi St. Teresa dari Yesus, Edith juga tertarik mendalami hidup dan ajaran Santo Yohanes dari Salib. Baginya “pengetahuan salib” hanya dapat diperoleh jika orang telah mengalami salib secara mendalam. Pengejaran, ketegangan dan penganiayaan yang dialami bangsanya juga dirasakan oleh Edith Stein. Bahkan dalam kesedihan, dia masih sempat menghibur, menolong dan meneguhkan para tahanan lain. Semua pengalaman itu disatukannya dengan salib Kristus.    

Penderitaannya berpuncak pada kemartiran yang dihadapinya dengan tenang dan pasrah. Edith Stein sangat menghayati makna salib. Hal ini terungkap dalam tulisannya, Ave Cruck Spec Unika “Terpujilah Engkau, Salib Suci, satu-satunya harapan kami!” dalam tulisannya, ia mengatakan “Berdirilah di hadapan Tuhan yang bergantung di Salib dengan lambung terluka. Ia mencurahkan darah yang berasal dari dalam hati-Nya sendiri untuk merebut hatimu. Ikutilah Dia dalam kemurnian hati, maka hati kita bebas dari setiap khayalan duniawi. Yesus tersalib harus menjadi tujuan segala perasaan rindumu, setiap keinginan, dan setiap pikiranmu.”

Bagi Edith Stein, salib suci memang layak dipuji dan disyukuri lantaran kekuatan yang memancar dari padanya. Sebab salib adalah jalan yang menunutun kita ke surga. Siapa yang memeluknya dengan iman, cinta, dan harapan, akan terangkat ke dalam hati tersuci Allah Trirtunggal.

Melalui kekuatan salib, engkau dapat bertahan dalam penderitaan di mana pun juga engkau akan menghadapinya dengan membawakan cinta yang bernyala, cinta yang berasal dari Hati Ilahi. Nasihat St. Edith Stein ini lahir bukan hanya dari keyakinannya tetapi juga dari pengalamannya akan salib, sumber kekuatan dalam derita dan cinta.

Karya-karya Edith Stein

(Karya-karya yang dipublikasikan saat  Edith Stein masih hidup)

Semasa hidupnya, Edith Stein mengalami aneka perjumpaan dengan para pemikir terkemuka seperti Edmund Husserl, Max Scheler, Martin Heidegger dan Thomas Aquinas baik secara langsung maupun tidak langsung. Para pemikir ini turut memberi cakrawala berpikir Edith Stein yang dapat ditemukan dalam sejumlah karya kontekstualnya.

Pertama, Zum Problem der Einfühlung (Dissertationsarbeit), Halle 1917. Karya ini merupakan disertasi doktoralnya pada Universitas Freiburg di Breisgau. Disertasi ini dibimbing oleh Edmund Husserl dan lulus dengan predikat cum laude pada 1916. Dalam karya ini tertera salah satu pernyataan pentingnya yaitu bila dalam empati kita menemukan bidang-bidang nilai yang selama ini tertutup bagi kita, kita akan sadar akan kekurangan dan ketidakbernilaian yang ada pada diri kita. Pada pernyataan ini tampak jelas nuansa fenomenologinya.

Kedua, “Individuum und Gemeinschaft” (Individu dan Komunitas), 1922. Dalam karya ini dibicarakan tentang relasi antara individu dan komunitas. Hubungan itu ditunjukkan demikian bahwa komunitas terdiri dari individu-individu. Dalam komunitas setiap individu terarah kepada tujuannya dan menjadikan tujuan tersebut sebagai tujuan bersama setiap individu. Karakter dari komunitas adalah skalanya kecil, lokal dan diatur oleh adat istiadat dan kebiasaan.

Ketiga, Eine Untersuchung über den Staat” (Penyelidikan tentang Negara), 1925. Karya ini berbicara tentang negara. Dalamnya dibicarakan tentang sejumlah penyelidikan yang berkaitan dengan adanya negara seperti individu, komunitas etnik, hukum, etika dan agama. Setiap komponen ini mempunyai hubungan erat dengan negara dan selanjutnya negara mempunyai tanggung jawab atas setiap komponen tersebut. Karena itu, bagi Edith Stein hidup bersama yang baik merupakan suatu keharusan dan hanya dapat terwujud dalam negara. Adanya negara merupakan bentuk nyata dari perkembangan kesadaran individual. Namun pada intinya manusia merupakan pusat dan titik tolak dari setiap komponen tersebut.

Keempat, Husserls Phänomenologie und die Philosophie des heiligen Thomas von Aquin” (Fenomenologi Husserl dan Filsafat Thomas Aquinas), 1929. Karya ini sebenarnya merupakan buah dari perjumpaan Edith Stein dengan pemikiran Edmund Husserl dan Thomas Aquinas. Dalam karya ini Husserl dan Thomas diperhadapkan dari muka ke muka. Dengan cara tindak seperti ini, ia membentangkan hubungan antara filsafat skolastik dan filsafat modern. Dari Thomas ia belajar bahwa iman tidak membutuhkan argumen filosofis. Ia membawa kepastian di dalam dirinya. Sementara itu kebenaran wahyu membuka bagi akal horison-horison yang hendak dijelajahi secara filosofis.

Karya-karya yang dipublikasikan setelah Edith Stein meninggal

Setelah Edith Stein meninggal terdapat sejumlah karyanya yang diterbitkan. Pertama, Endliches und Ewiges sein: Versuch eines Aufstiegs zum Sinn der Seins, (1950). Karya ini merupakan hasil dari perjumpaannya dengan pemikiran Thomas Aquinas. Karya ini juga merupakan karya untuk habilitasinya yang diberi judul: Akt und Potenz (Aktus dan Potensi). Karya ini dikerjakan kembali atas permintaan pemimpinya di Biara Karmel di Köln, Jerman.

Dalam karya ini dibicarakan tentang keberadaan fana dan keberadaan baka. Namun dengan tetap berpegang pada kerangka filosofis, maka uraiannya dibuat secara terbalik. Urutannya adalah Aku, Ada dan Allah sebagai Engkau. Untuk itu ia menandaskan bahwa keberadaan saya sekarang mengandung kemungkinan untuk keberadaan aktual di masa depan dan mengandaikan kemungkinan dalam keberadaan saya yang dahulu. Keberadaan saya sekarang adalah keberadaan aktual sekaligus potensial, sekaligus sesuatu yang nyata dan yang mungkin. Akan tetapi pada akhirnya seluruh bidang kenyataan dan seluruh pengembangan keberadaan akan berkiblat pada Allah.

Kedua, Des Heiligen Thomas von Aquino Untersuchungen über die Wahrheit, (1952). Karya ini merupakan terjemahan atas karya Thomas Aquinas yang berjudul: Quaestiones disputatae de veritate. Perjumpaannya dengan Thomas Aquinas terjadi ketika Erich Przywara SJ meminta Edith Stein untuk menerjemahkan satu karya Thomas Aquinas yang berjudul Quaestiones disputatae de veritate ke dalam bahasa Jerman. Lewat karya ini Edith Stein diajar untuk memaknai secara benar antara kotemplasi dan aksi. Bahwa di dalam dunia ini hal lain dituntut dari kita dan bahkan di dalam kehidupan yang tenang, ikatan dengan dunia tidak boleh diputuskan sama sekali…semakin seorang ditarik ke dalam Allah, semakin besar keharusan baginya untuk keluar dari dirinya, itu berarti masuk ke dalam dunia untuk membawa kehidupan ilahi itu ke dalam dunia.

Ketiga, Die Frau: Ihre Aufgaben nach Natur und Gnade, (1959). Dalam karya ini sebenarnya dibicarakan tentang panggilan perempuan. Panggilan perempuan dalam terang Edith Stein meliputi dua panggilan dasar yaitu panggilan natural dan panggilan supernatural. Panggilan natural adalah panggilan yang didasarkan pada kodrat perempuan-panggilan maternal dan panggilan profesi atau karier; sedangkan panggilan supernatural adalah panggilan atas dasar rahmat.

Keempat, Welt und Person.Beitrage zum christlichen Wahrheitsstreben.1962. Dalam karya ini dibicarakan tentang dunia dan pribadi. Dalamnya dicari makna terdalam dari berada dalam dunia. Menurut Edith Stein, dunia ini meliputi dunia kosmologis dan dunia ilahi. Karena itu keberadaan manusia tidak berhenti pada dunia kosmologis tetapi bermuara dan menyatu pada dunia ilahi. Hal ini bertentangan dengan Martin Heidegger yang gagal melihat dunia yang lain dari dunia yang kelihatan ini.

Latar Belakang Intelektual

Edith Stein adalah pemikir yang bertumbuh dan berkembang dari sejumlah permenungan pribadi akan tiga topik utama yakni dunia, manusia dan Tuhan. Permenungan ini didukung pula oleh aneka perjumpaan pribadi, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sejumlah pemikir terkemuka seperti Edmund Husserl, Max Scheler, Martin Heidegger dan Thomas Aquinas. Pertemuannya dalam ranah ilmiah ini didasari pula oleh pencarian tanpa henti akan kebenaran. Untuk itu, kita akan membicarakan beberapa pemikir di atas berdasarkan sumbangannya atas cakrawala pemikiran Edith Stein.

Tiga Komunitas Formasi

Menurut Edith terdapat tiga komunitas formasi bagi perempuan yaitu keluarga, negara dan Gereja. Setiap komunitas formasi mempunyai sumbangannya masing-masing bagi pertumbuhan dan perkembangan perempuan kepada pemenuhan penghayatan kemanusiaan, keperempuanan dan individualitasnya.

Pertama, keluarga. Dalam ranah pendidikan, keluarga merupakan tempat pertama untuk setiap manusia, laki-laki dan perempuan memperoleh pendidikan dasar. Keluarga yang baik akan mendidik anak-anaknya secara seimbang.  Tidak ada pemisahan mendasar antara laki-laki dan perempuan. Yang diutamakan adalah pemenuhan adanya sebagai manusia yang rasional, sosial dan individual. Pendidikan dalam keluarga harus berbasis gender.

Kedua, negara. Negara merupakan komunitas kodrati yang adanya diciptakan atau dikehendaki oleh manusia. Dalam kaitan dengan pendidikan, negara harus menjamin setiap manusia, laki-laki dan perempuan dan memperoleh pendidikan yang selaras dengan kodratnya masing-masing. Dalam hal ini, kurikulum dan metode pendidikan harus disesuaikan dengan kodrat kemanusiaan. Pendidikan harus menghargai feminitas dan maskulinitas. Negara juga harus membuka akses pendidikan kepada setiap warga negara, laki-laki dan perempuan secara memadai. Tidak ada pengkotak-kotakan dalam pendidikan.

Ketiga, Gereja. Gereja merupakan komunitas ilahi. Sebagai komunitas ilahi, Gereja mempunyai tanggung jawab mulia agar anak-anak Allah, laki-laki dan perempuan dididik sesuai dengan kehendak Allah. Kehendak utama Allah adalah menghendaki manusia, laki-laki dan perempuan mencapai kepenuhannya sebagi citra Allah. Selain itu, laki-laki dan perempuan harus mengambil bagian dalam karya ilahi yaitu menghasilkan keturunan dan mengolah dunia.*

Santo Rafael Kalinowski

Masa Kecil Hingga Remaja

Joseph Kalinowski dilahirkan pada tanggal 1 September 1835 di kota Vilna, Lithuania, dalam sebuah keluarga bangsawan katolik yang saleh. Ayahnya bernama Andrew Kalinowski dan ibunya bernama Josepha Poionska Kalinowski. Andrew Kalinowski adalah seorang guru matematika di sebuah sekolah untuk bangsawan. Joseph kecil tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang harmonis. Orang tuanya sangat mengasihi dia dan sejak kecil ia telah dididik dalam iman Katolik yang kuat. Semasa kecil Joseph belajar di rumah sampai usia sembilan tahun, lalu pendidikannya dilanjutkan di sekolah tempat di mana ayahnya mengajar. Joseph yang memiliki otak yang cerdas itu lulus pada tahun 1850 dengan nilai yang sempurna.

Sejak kecil Joseph sudah mulai merasakan adanya panggilan khusus dalam dirinya. Ia merasa terpanggil untuk mengabdikan hidupnya sebagai seorang imam dan melayani Tuhan dan sesama. Niat dan pikiran itu kemudian disampaikannya kepada orangtuanya yang kemudian menasehatinya supaya ia belajar terlebih dahulu dan melanjutkan kuliahnya. Joseph yang taat dan hormat kepada orangtuanya mengikuti nasihat sang ayah.

Masa Kuliah dan Kemiliteran

Pada masa itu untuk mencari universitas adalah hal yang tidak mudah bagi seorang Polandia. Ketika Rusia merebut Polandia dan Lithuania tahun 1795, pemerintahan Rusia menutup semua universitas Polandia dan satu-satunya universitas yang ada adalah universitas Rusia. Akhirnya pada tahun 1851 Joseph kemudian memilih Institut Agronomi di Hory-Horki. Di sana ia belajar tentang ilmu kimia, pertanian dan perkembang-biakan lebah. Setelah beberapa waktu belajar di sana, Joseph merasa bahwa ilmu tersebut bukan merupakan bidangnya, karena ternyata ia mempunyai talenta yang sama seperti sang ayah. Menyadari hal itu, akhirnya pada tahun 1853 Joseph pun segera beralih ke Akademi Teknik Militer Rusia Nicholayev di St. Petersburg. Ia masuk ke akademi itu bersama dengan seorang sepupunya, Lucian Polonski.

Tahun 1856 Joseph lulus dan menyandang pangkat letnan. Tahun 1857 dia juga ditunjuk sebagai asisten dosen matematika di akademi tersebut. Setahun kemudian ia dikirim untuk mengawasi pembangunan jalan kereta api antara Kursk, Kiev dan Odessa. Proyek pembangunan jalan kereta api ini terhenti dan tertunda pada tahun 1860. Letnan Joseph kemudian ditugaskan kembali ke benteng di Brest Litovsk. Karena pekerjaannya yang baik dan pribadinya yang dewasa, pada tahun 1862 Joseph dipromosikan sebagai kapten dalam kepemimpinan staff umum.

Selama tiga tahun Joseph bertugas di benteng dan ia merasakan saat-saat yang menggelisahkan, ia merasa ada sesuatu yang kurang. Akhirnya, ia kemudian memulai mengajar sekolah minggu Katolik. Hal itu menyenangkan hatinya dan karena kepeduliannya yang amat tinggi kepada sesama, lebih-lebih yang menderita dan miskin maka Joseph pun mulai mengurangi dan membatasi pengeluaran biaya untuk kepentingannya sendiri, sehingga ia bisa membantu kaum miskin di daerah itu.

Masa Revolusi dan Pemberontakan

Tahun 1863, rakyat Polandia mulai bangkit untuk melawan penindasan Rusia. Saat itu Joseph berada di posisi yang sulit. Dia tahu dan sadar bahwa pemberontakan dan revolusi itu akan mendatangkan banyak kerusakan dan kerugian di berbagai tempat, namun di lain pihak ia juga menyetujui tujuan dari revolusi itu untuk membebaskan rakyat Polandiaadari penindasan Rusia. Joseph berpikir jika ia ikut dalam gerakan revolusi itu, mungkin ia dapat membantu untuk membatasi dan mengurangi kerusakan yang akan terjadi. Karena pertimbangan itu maka ia pun memutuskan untuk keluar dari kesatuan militer Rusia dan bergabung dengan para pemberontak Polandia.

Joseph pun meninggalkan Brest dan pergi menuju ke Warsaw. Di sana Joseph diminta oleh dewan nasional untuk memimpin gerakan revolusi dan menjadi duta perang melawan Rusia untuk regio Vilna. Joseph yang sangat mencintai tanah airnya sehingga menerima tugas tersebut walaupun dia sadar bahwa pemberontakan ini akan menimbulkan banyak kerugian. Dalam tugasnya kemudian Joseph mengatakan bahwa ia tidak akan pernah menjatuhkan hukuman mati bagi siapapun.

Dengan keikutsertaannya dalam gerakan revolusi itu maka Joseph kemudian pergi ke Vilna dan membangun markas besar di rumahnya sendiri yang tidak diketahui oleh orang lain. Di sana Joseph berusaha untuk semakin mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Setiap hari ia pergi ke gereja, juga berdoa melalui perantaraan Bunda Maria. Ia memohon rahmat dan kekuatan dalam menjalani tugasnya sebagai duta perang.

Masa revolusi itu pun berjalan dan seperti yang telah diperkirakannya, satu persatu para pemimpin revolusi ditahan oleh orang-orang Rusia, diadili dan digantung di tengah-tengah kota. Mereka yang tertangkap dimasukkan ke dalam penjara yang dulunya adalah sebuah biara Dominikan. Joseph dengan gigihnya berusaha menyelamatkan mereka. Melihat keberaniannya orang-orang Rusia pun mulai mengawasi gerak gerik Joseph. Akhirnya pada bulan Maret 1864, mereka pun menangkap Joseph dan memenjarakannya.

Selama dalam penjara itu Joseph menulis dalam riwayat hidupnya :

“Saya bangun setiap pagi pukul lima dan hal pertama yang terpikir olehku adalah doa kemudian meditasi. Ketika saya membaca buku meditasi, saya mendapatkan banyak penghiburan. Setiap hari saya dapat mendengarkan misa dari kejauhan. Jendela sel saya menghadap ke arah kebun yang merupakan sebuah alun-alun dan di seberangnya terletak Gereja Roh Kudus tempat misa diadakan setiap pagi. Saya kemudian membuka jendela sedikit dan saya pun dapat mengikuti seluruh perayaan Ekaristi kudus itu.”

Selang tiga bulan berikutnya pemerintahan Murawiew menjatuhkan hukuman mati untuk pejuang yang berani itu, namun karena Joseph sangat dikenal dan mungkin akan mendapat sebutan sebagai martir jika dihukum mati maka kemudian mereka mengubah hukumannya menjadi hukuman 10 tahun kerja paksa di Siberia Timur.

Masa Hukuman dan Pembuangan

Pada tanggal 29 Juni 1864 Joseph pun dikirim ke tempat pembuangan dan hukuman di Siberia. Ia pergi dengan berjalan kaki dan sampai di pertambangan Usolje-Sibirskoje tanggal 15 April 1864. Ia tinggal di sana sampai tahun 1868 dan pada tahun yang sama ia mendapat keringanan hukuman untuk meninggalkan daerah pembuangan. Ia kemudian dikirim ke Irkutsk dekat danau Bajkal di daerah perbatasan Mongolia. Di sinilah ia kemudian mengalami perubahan yang sangat besar dalam imannya. Joseph mulai melakukan karya-karya kerasulannya, walaupun ia mendapat banyak sekali penindasan yang membuatnya menderita, baik fisik maupun batin, namun hal itu justru semakin membawanya untuk berserah pada Tuhan. Hubungan Joseph dengan Tuhan pun semakin diperbaharui, semua penderitaan itu membuatnya semakin merasakan persatuan yang indah dengan Tuhan. Joseph yang senantiasa mewarnai hidupnya dengan doa terus-menerus membawa dampak yang baik bagi sesama tawanan di sana. Mereka begitu senang dengan kehadiran Joseph di antara mereka dan seringkali dalam doanya, mereka berseru, “Dengan perantaraan doa-doa Joseph Kalinowski, bebaskanlah kami ya Tuhan.”

Tahun-tahunnya di Siberia dan di pembuangan adalah masa-masa penuh rahmat bagi Joseph. Ia menunjukkan diri sebagai seorang pelayan Tuhan yang baik bagi sesamanya. Joseph senantiasa menyediakan waktu untuk memberikan penghiburan bagi para tawanan dan orang-orang buangan di sana, ia menjadi seorang pembimbing rohani yang bijaksana, memberikan kekuatan melalui doa-doanya. Joseph yang amat mengasihi Bunda Maria juga tidak pernah meninggalkan devosinya kepada Sang Perawan Tersuci ini. Ia percaya Bunda Maria senantiasa mendengarkan seruan anaknya dan menolong mereka.

Di tempat pembuangan ini juga Joseph berteman baik dengan seorang imam Kapusin yang bernama Wenceslaus Novakowski, OFM Cap. Bersama dengan imam ini Joseph kemudian mempersiapkan anak-anak para tawanan Katolik untuk menerima komuni pertama. Joseph dengan sabar dan penuh kasih mengajar mereka. Sementara itu Joseph menyadari panggilan Tuhan yang pernah dirasakannya semasa kecil saat itu semakin tumbuh subur dan kuat. Panggilan Tuhan itu dirasakannya begitu indah dan kemudian ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah biara untuk menjadi seorang imam.

Masa Pembebasan, Menjadi Seorang Guru

Selama masa 10 tahun penderitaan itu Joseph tidak pernah sekalipun meninggalkan meditasi dan doanya. Pada bulan April 1874 Joseph dibebaskan. Pada hari pembebasannya itu, ia pertama-tama pulang ke rumahnya di Vilna, kemudian pergi ke Warsaw dan tinggal di sana dekat dengan Gabriel, saudaranya. Dari jendela rumahnya Joseph dapat melihat gereja dan biara para frater Karmelit tak berkasut.

Saat itu seorang temannya semasa di pembuangan, Allesandro Oskierko menawarkan kepada Joseph pekerjaan sebagai guru dan pembimbing bagi Pangeran muda Augustus Czartoryski. Joseph menerima tawaran itu dan kemudian selama 3 tahun ia pun menjadi guru dan pembimbing. Pada tanggal 23 Oktober 1874 Joseph bersama dengan Gucio (nama kecil dari Pangeran August) pergi ke Paris dan tinggal di sana. Selama tahun-tahun itu Joseph membimbing Gucio. Ia melihat bahwa Gucio adalah seorang pemuda yang pandai namun sayangnya tubuhnya sangat lemah karena sakit. Selama itu Joseph memainkan peran sebagai ayah, ibu, kakak, teman, dan perawat bagi Gucio. Dia melakukan semua itu dengan penuh perhatian dan kasih kepada pemuda itu. Joseph menemani Gucio selama perjalanannya di Perancis, Polandia dan Italia, membimbing dia dengan kata-kata dan teladan hidup sebagai seorang Katolik.

Selama di Paris, Joseph ikut serta dalam kegiatan sosial, bekerja bagi para pengungsi Polandia. Joseph kemudian bertemu dengan seorang imam Karmelit tak berkasut, Pastor Augustine Mary dari Sakramen Mahakudus. Joseph sangat mengagumi bakat musik imam ini dan terutama kehidupan rohaninya yang mendalam.

Menjadi Seorang Karmelit

Sementara itu keinginannya untuk meninggalkan segala sesuatu dan mengabdikan hidupnya bagi Tuhan semakin kuat. Panggilan menjadi seorang religius semakin matang dan akhirnya pada musim panas tahun 1876 ketika ia berada di Davos, Switzerland bersama Gucio, Joseph membuat keputusan yang mengubah seluruh kehidupannya. Joseph memutuskan untuk menjadi seorang Karmelit tak Berkasut. Ia didukung dan didoakan oleh Witoldowa Grocholska Czartoryska, bibi dari Gucio dan juga seorang biarawati Karmel yang bernama Sr. Mary Xavier dari Yesus. Dengan segala dukungan itu Joseph semakin mantap akan pilihan hidupnya.

Pada bulan Juli 1877 Joseph akhirnya meninggalkan kehidupan duniawi dan tepat tanggal 14 Juli ia masuk ke sebuah biara Karmel tak Berkasut di Linz, Austria. Tidak diingkarinya bahwa ada rasa sedih juga ketika harus berpisah dengan Gucio yang telah dibimbingnya beberapa tahun itu. Di kemudian hari Gucio bertemu dengan St.Don Bosco dan akhirnya menjadi seorang Salesian pada tahun 1887 dan meninggal dunia tahun 1893.

Tanggal 15 Juli 1877 Joseph pergi ke Graz dan memulai masa novisiatnya di sana. Saat itu Joseph berusia 42 tahun dan pada tanggal 26 November 1877 ia mendapat nama biara yaitu Fr. Rafael dari St. Joseph Kalinowski. Dia mengucapkan kaul pertamanya setahun kemudian, setelah itu ia dikirim ke Hungaria untuk belajar filsafat dan teologi. Bulan November 1881 Joseph mengucapkan kaul kekalnya dan kemudian ia dipindahkan ke Polandia ke sebuah biara tua di daerah Czerna. Di sana ia menyelesaikan studi teologinya dan akhirnya menerima tahbisan imamat pada tanggal 15 Januari 1882 oleh Uskup Krakow Albin Dunajewski.

Setelah pentahbisannya sebagai seorang imam, Rafael ditunjuk untuk menjadi pembimbing novis dan kemudian tahun 1883 ia menjadi pimpinan biara di Czerna. Selain itu ia juga menjadi anggota dewan propinsi dan pimpinan bagi para suster Karmel tak Berkasut dari biara di Krakow Wesola. Rafael juga dengan penuh kesabaran selalu menerima mereka yang datang untuk mengaku dosa. Ia sangat menaruh perhatian pada Sakramen pengakuan dosa. Karena perhatiannya ini maka di kemudian hari ia mendapat sebutan sebagai “martir pengakuan dosa”, seorang Bapak Pengakuan yang penuh perhatian dan bijaksana.

Rafael yang begitu bersemangat dalam pengabdian dan pelayanannya itu kemudian juga mendirikan biara-biara Karmel untuk pada suster. Atas segala usahanya akhirnya pada tahun 1884 sebuah biara Karmel Teresian berdiri di Przemysl dan pada tahun 1888 di Leopoli (Ukraina). Kemudian tahun 1990  Rafael menjadi Vikaris Provinsial dari semua biara-biara itu.

Di kemudian hari ketika biara novisiat Karmel tak Berkasut yang tadinya eksis di Berdyczow, Rusia dan Lublin hampir mati,  Rafael mendirikan sebuah biara baru di Wadowice tahun 1892. Dia juga membangun sebuah gereja, pusat spiritualitas dan juga menjadi sebuah seminari yang membantu mengembangkan panggilan bagi para pemuda.

Tahun-tahun Terakhir

Rafael Kalinowski dengan penuh semangat dan cinta terus memberikan dirinya dalam pelayanan bagi Tuhan dan sesama. Dia yang memancarkan kasih Tuhan itu sangat dikenal dan dikasihi oleh semua orang. Dia menyediakan waktunya untuk membimbing para pemuda dalam seminari yang dibangunnya. Dia juga tidak hentinya berdoa bagi persatuan seluruh Gereja di dunia. Pada tahun 1904 atas perintah dari superiornya, Rafael mulai menulis riwayat hidupnya. Pada tanggal 15 November 1907 di Wadowice Rafael Kalinowski meninggal dunia karena sakit TBC. Ia meninggal dalam keadaan damai dan tenang. Berita tentang kematiannya itu dengan cepat tersebar di mana-mana dan ribuan orang datang untuk menghormati pria yang telah diramalkan akan menjadi seorang Santo. Jenasah Rafael Kalinowski kemudian dipindahkan ke makam biara di Czerna, Krakow. 

Santa Teresa dari Los Andes

St. Teresa de los andes adalah biarawati Karmel OCD pertama yang digelar Kudus yang berasal dari luar Eropa. St. Teresa, lahir di Santiago, Chili pada tanggal 13 juli 1900, dari pasangan Miguel Fernandes dan Lusia Solar. Pasangan ini dikaruniai tujuh orang anak, salah satunya adalah Teresa Los Andes. Ia dibaptis dengan nama Juanita Fernandes Solar, nama panggilannya adalah juanita. Teresa adalah anak ke lima dari tujuh bersaudara, enam lainnya adalah Lusia, Miguel, Lois, Yohana, Rebeka, dan Ignasius. Teresa lebih dikenal dengan nama Teresa Los Andes. Nama belakangnya diambil berdasarkan nama tempat dimana Ia mulai mengenal kehidupan Karmel yaitu: Los Andes. 

Riwayat Pendidikan

    Juanita mulai bersekolah pada usia enam tahun disebuah sekolah yang dikelolah oleh para Suster Kongregasi Hati kudus. Pada tnggal 22 oktober 1909, Juanita menerima sakramen permandian. Setahun kemudian, tepat pada usia sepuluh tahun, pada tanggal 11 September 1909, Juanita menerima komuni pertama. Persiapan Juanita untuk menerima komuni pertama sangat dibantu oleh kakaknya luis, yakni dengan mempelajari doa-doa terutama doa Rosario.

    Pada tahun 1915, Juanita masuk asrama sekolah Hati Kudus bersama adiknya Rebeka. Di jenjang sekolahnya yang lebih tinggi, Juanita tampil sebagai pelajar yang memiliki prestasi biasa-biasa saja. Namun Ia terkenal sebagai pelajar yang pandai dalam hal sastra. Pada bulan Agustus 1918 Juanita menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, dia memanfaatkan waktu liburannya di Chacabuco dengan mengajar katekismus dan berbagai kegiatan yang berbau rohani kepada anak-anak petani yang kurang mendapat perhatian dari daerah tersebut.

Latar Belakang Kehidupan St Teresa Los Andes

Latar belakang kehidupan St Teresa Los Andes sangat berkebajikan, Teresa dibesarkan dengan penuh kasih sayang dari kedua orang tuanya serta sanak saudaranya. Semangat pelayanan pada Tuhan sudah mulai nampak sejak Teresa berumur enam tahun ketika ia mulai mengenyam pendidikan dasar. Ia sering diajarkan doa-doa Rosario, rajin kegereja dan ia juga sering membaca buku-buku rohani.

Pernah dikisahkan bahwa pada suatu saat pada bulan Rosario kedua orang tuanya serta sanak saudaranya lupa mendaraskan doa Rosario, namun hal ini tidak membuat Teresa turut melupakanya.  Karena punya keinginan yang besar terhadap Tuhan, ia mencoba mendaraskan doa Rosario sendirian disalah satu ruangan, walaupun jatuh bangun Teresa tetap berusaha menyelesaikan mendaraskan doa Rosarionya itu. Hal ini dikatakan oleh Lusia kakaknya. Namun hal yang dikisahkan di atas bernada lain ketika Teresa Los Andes mulai mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, di sebuah sekolah yang dikelolah oleh kongregasi Hati Kudus.

Teresa dikenal dengan karakternya yang sulit di perintah, bahkan ia tergolong sebagai peribadi yang sombong, egois keras kepala, dan lain lain. Teresa sendiri banyak dihindari oleh teman-teman seangkatanya, karena perbuatanya yang sulit di perintah, bukan hanya teman-teman dalam seangkatanya, tetapi para pembina juga menyerah dengan perbuatannya itu. Hal ini membuat kecemasan terhadap kedua orang tuanya, serta para pembinanya disekolah.

Kedua orang tuanya sangat kwatir ketika melihat perubahan yang terjadi pada diri anaknya itu. Namun sebagai orang tua yang bijaksana tidak ingin anaknya jatuh dan melebur dalam hal-hal yang kurang menyenagkan banyak orang. Segala daya upaya serta berbagai bentuk pembinaan yang cukup matang telah mereka lakukan terhadap Teresa. Sehingga Teresa boleh kembali mengimani Kristus serta memiliki semangat pelayanan terhadap T uhan.

Inspirasi Teresia Lisieux

Pada bulan Januari 1919, ketika diwaktu liburannya, Juanita diundang olah salah seorang suster Karmel di Los Andes (teman dari kakanya lusia) untuk membantu mengajar anak-anak yang kurang mampu. Kebetulan anak-anak ini dihimpun di asrama suster Kamel. Ini merupakan kesempatan yang berahmat bagi Teresa, untuk pertama kalinya ia mengenal kehidupan membiara. Keinginannya sejak kecil untuk menjadi pelayan Tuhan mulai nampak, ketika ia mengunjungi Biara Karmel Los Andes untuk mengisi waktu liburannya di Biara Los Andes.

Berhari-hari Teresa menghabisi waktunya dengan berbagai macam kegiatan, selain mengajar, berdoa dan lain lain. Dalam kesibukannya itu, Teresa juga sempat membaca beberapa buku yang disediakan di perpustakan milik Biara Karmel, salah satunya adalah Tulisan dari St. Teresia Lisieux atau St. Theresa dari Kanak-kanak Yesus. Keinginannya itu berawal ketika membaca buku tentang St. Teresia lisieux, seorang biarawati Karmel yanag sangat berpengaruh bagi karakternya. Dalam buku itu mengisahkan seluruh kehidupan St. Teresia Lisieux, terutama pengalaman mistiknya terhadap Tuhan.

Hal yang mendorong Teresa Los Andes untuk meniru dan memneladani St. Teresia Lisieux dalam jalan hidup bakat, sebagai rubiah pertapa dalam Karmel. Alasan lain mengapa Teresa berhasrat untuk menjadi seorang rubiah Karmel, ialah pengalaman mistiknya yakni perjumpaan dan percakapan dengan Yesus, yang tertuang dalam tulisannya. “Ia berbicara kepada saya dan membuat saya semakin menyadari betapa Ia sendirian dan ditinggalkan di Tabernakel. Dia mengatakan kepada saya untuk menemani-Nya”.

Lalu Dia memberi saya suatu niat untuk menjadi pelayan-Nya, kemudian Dia mengatakan kepada saya bahwa, “Dia menginginkan hatiku untuk diri-Nya”. Dia menghendaki aku untuk menjadi seorang Karmelit. Dari saat saat itulah Teresa mencoba menghabisi waktunya sepanjang hari dalam percakapan intim dengan Tuhan, dan ia merasa senang untuk mencintai keheningan dan menyendiri untuk diam bersama Tuhan, dan dalam keheningan itu ia mendapat suatu kebahagiaan yang besar bersama Tuhan.

Hidup Membiara

Setelah menghabisi waktu liburannya di biara Karmel, Juanita kembali ke rumahnya untuk memberitahukan kepada kedua orang tuanya, bahwa ia punya keinginan untuk hidup membiara.  Tapi keinginannya itu tidak serta merta direstui oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya sangat kwatir jangan sampai hal yang sama terjadi lagi pada diri anaknya itu. Karena punya keinginan yang besar pada Tuhan, akhirnya hasrat dan keinginan Juanita untuk brgabung bersama para suster Karmel pun pada akhirnya direstuai oleh ayahnya Miguel Fernandes, walaupun dengan berat hati.

Pada tanggal 7 mei 1919, Juanita masuk Biara Karmel Los Andes, biara dimana ia pernah berkunjung sebelumnya. Setelah lima bulan lamanya menjalani kehidupan membiara, pada tanggal 14 Oktober 1919, Juanita menerima jubah di hadapan keluarganya dan sahabat-sahabatnya, sekaligus menerima nama barunya yakni Sr. Teresa dari Yesus. Namun kebahagiaan yang dialami oleh Teresa, berubah menjadi sebuah penderitaan, dimana setelah menerima busana Karmel, sejak hari-hari pertama bulan maret 1920, Teresa mulai jatuh sakit. Oleh dokter, Teresa dinyatkan mengidap penyakit tifus. Oleh penyakit inilah membuat Teresa mengalami penderitaan batin dan fisik yang begitu hebat.

Teresa sendiri menyadari bahwa apa yang ia alami telah diketahuinya sebelumnya melalui pengalaman mistiknya. Dalam perjumpaan mistiknya dengan Yesus, ia tahu bahwa ia akan mati pada usia muda, dan dalam penderitaan sebagaimana yang dialami oleh Yesus Kristus. Dengan pengetahuan dan kesadarannya itu, ia meminta untuk mengaku dosa.

Melihat kondisi Sr. Teresa yang semakin parah, pada tanggal 5 April 1920, Teresa menerima sakramen terahkhir, kemudian pada tnaggal 7 April, ia mengikrarkan kaul kekalnya. Hal ini merupakan kebiasaan bagi seorang novis yang sedang dalam bahaya maut. Pada bulan April 1920, yang dekat dengan kematiannya, Teresa diijinkan untuk membuat profesi agamanya. Lima hari kemudian brtepatan dengan masa pekan susi yaitu pada tnggal 12 April 1920, berakhirlah penggembaraan hidupnya di dunia ini, namun sebelun ia menghebuskan nafas terakhirnya.

Teresa merasakan sebuah kebahagiaan yang terjadi dalam dirinya, ia sempat mengukir sebuah kata-kata yang menguatkan dirinya bahwa “Untuk Karmelit, kematian bukanlah suatu hal yang misterius, melainkan suatu berkat, karena yang Ilahi telah menitipkan sebuah kehidupan yang indah, dan saatnya Ia memanggil kembali”.

Proses Kanonisasi

Proses kanonisasi di mulai pada tahun 1947 dan dilanjutkan kembali pada tahun 1976, yang didukung oleh banyak imam karmel OCD, diantaranya Jauregui OCD, Marino purroy Remon OCD, Simeon Tomas Fernandes OCD, dan para uskup dari San Felipe, yakni Mgr. Francisco de Borja dan Mgr. Manuel Camilo Vial Valenzuela Rios Risopatron. Namun usaha ini baru terealisasi pada tahun 1987. Gelar beata diumumkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 3 april 1987 di Santiago, Chili. Peristiwa suci ini disaksikan langsung oleh Luis salah satu saudaranya yang masih hidup. Ia mengikuti proses beatifikasi tapi tidak bisa melihat secara utuh. Sementara gelar Kudus diumumkan oleh Paus yang sama pada tanggal 21 Maret 1993 di Roma dalam satu perayaan misa meriah di Basilika Vatikan. Teresa Los Andes diangkat Gereja menjadi pelindung kaum muda.

Gereja mengakui bahwa proses beatifikasi dan kanonisasi St. Teresa Los Andes didukung oleh berbagai mikjizat yang terjadi berkat permohonan doa melalui St. Teresa Los Andes. Misalnya: Kasus pemadam kebakaran Hector Uriba Carasco, yang terjadi pada tahun 1985, dan pada tanggal 4 Desember 1985, pemadam kebakaran relawan yang jatuh dari atap pada saat kebakaran dan menerima sengatan arus listrik yang cukup kuat. Para dokter menyatakan bahwa ia “mati secara klinis”, para kerabart dan keluarganya memohon penyelenggaraan Tuhan melalui perantaran St. Teresa Los Andes. Beberapa menit kemudian ia menunjukan tanda-tanda adanya kesadaran kembali, ia kembali hidup setelah dinyatakan mati secara klinis. Ia selamat dari kecelakan.

Kasus ini kemudian diserahkan ke Roma pada kongregasi penyelidikan orang suci, yang kemudian diundangkan tentang keajaiban, dengan mengatakan bahwa dalam kasus tersebut, modus penyembuhan cepat, lengkap dan abadi, dan dijelaskan secara pengetahuan medis.

Jalan Kekudusan Teresa Los Andes

Jika melihat kembali keseluruhan hidup St. Teresa Los Andes, takada hal besar dan luar biasa yang Ia lakukan. Namun di balik yang biasa-biasa Ia lakukan, tersimpan berbagai keutamaan yang nampak yang menbuat St. Teresa Los Andes menjadi besar. Diantaranya:

Pembiasaan diri dengan hal-hal Spiritual

Kehidupan spiritual Juanita atau Teresa Los Andes, mulai nampak sejak ia menerima komuni pertama. Ia begitu menhayati doa-doa, terutama doa Rosario yang didukung dengan kebajikan-kebajikan kecil dan sederhana misalnya, mati raga, rendah hati dan melayani.

Terlahir Sebagai Anak Orang Kaya

Juanita hidup dalam kecukupan, namun ia berusaha untuk melepaskan dari segala kelekatan dan ketergantungan terhadap semua yang dimilikinya. Hal ini terlihat jelas ketika usaha ayahnya mengalami kebengkrutan, Juanita melihat semuanya itu sebagai penyelenggaraan Ilahi yang melatihnya untuk melepaskan diri dari segala keterikatan terhadap harta duniawi. Dengan pelepasan tersebut, maka Juanita lebih leluasa memberikan diri kepada kehendak Allah. Ia berusaha melaksanakan apa yang bisa ia lakukan, atau apa yang menjadi tanggung jawabnya. Kehendak Allah mendorong Juanita untuk memiliki perhatian yang konstan terhadap pemenuhan tugas-tugasnya.

Penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, bagi Juanita perlu didukung dengan keteguahan hati. Keteguhan hati menjadi sangat perlu, karena bagi Juanita hal itu menjadi kunci pencapaian kekudusan. Juanita sadar benar pentingnya keteguahan hati akan kesetiaan untuk tetap bertahan hingga kesudahan. Keteguahan hati Juanita dibuktikan dengan kemampuanya untuk tidak mengeluh terhadap penderitaan-penderitaan kecil yang dialaminya. Dan atas keteguahan hati itulah, Juanita boleh mencapai tingakat spiritual yang paling tinggi yakni persatuan mistik.

Juanita atau St. Teresa Los Andes dengan jalan hidupnya menunjukkan kepada kita bahwa pencapaian kekudusan tidak harus melalui perbuatan-perbuatan besar dan luar biasa. Pencapaian kekudusan baginya melaluai tindakan-tindakan sederhana tetapi harus disertai dengan penyerahan diri seutuhnya kepada kehendak Allah.*

Beato Dionisius & Redemptus

Beato Dionisius dengan nama asli Pierre Berthelot, sebagai putra sulung dari 10 bersaudara dari pasangan bangsawan perancis Berthelot dan Fleurie Morn. Ia lahir di Hontfleur-Prancis 12 Desember 1600. Ayahnya seorang dokter dan nakoda kapal. Pierre mewarisi tradisi kesalehan orang tuanya. Ia tumbuh dalam semangat rendah hati, dengan iman yang teguh dan kesiapsediaan untuk berkorban. Sejak usia 12 tahun, Pierre telah mengikuti jejak sang ayah mengarungi lautan. Selama 7 tahun, dengan ganasnya lautan, membentuknya menjadi pribadi yang handal. Bakat dan kemampuannya menggema dalam kecakapannya menggambar peta sebagai navigasi pelayaran. Ia telah menjelajahi hingga ke Spanyol, Inggris dan Amerika.

 Pada usia 19 tahun Pierre diangkat sebagai Navigator L’ Esperance kapal dagang ekspedisi Prancis ke India. Namun kejadian naas menimpa mereka.  L’ Esperance ditaklukkan oleh VOC Belanda, karena berebutan rempah-rempah. Ia dibawa sebagai tawanan ke Jawa. Pasca pembebasannya ia mengadu nasib ke daerah koloni Portugis di Malaka dan bekerja dengan Portugis. Namanya melambung terkenal berkat kejeniusannya dan keberaniannya sebagai pelaut. Hal ini memikat hati raja Portugis, yang menobatkannya sebagai ‘’Ahli navigasi dan pembuat peta Asia’’. Salah satu buah karya tangannya yaitu peta pulau Sumatera yang berada di museum Inggris.

Menemukan Jalan Menuju Karmel

Sejak ia hijrah ke Goa-India, kariernya sangat briliant, tetapi hatinya hampa. Kekeringan jiwanya menjadi dorongan yang kuat untuk merefleksikan hidupnya secara lebih baik. Alih-alih melanjutkan kariernya, pierre justru memutar haluan hidupnya dengan memilih untuk masuk biara Karmel di Goa-India pada tahun 1635. Pada 25 Desember 1636, Pierre mengikrarkan kaul kekalnya sebagai Karmelit dengan nama religiusnya ‘’Dionisius a Nativite’’. Menurut bapak pengakuannya, hidup Dionisius mencerminkan kesucian seorang Karmelit. Doa-doanya amat kontemplatif dan inspiratif, seolah aura surgawi menyelimuti dirinya kala bertelut dalam doa.

Sebagai Karmelit, formasi Dionisius dipercepat karena permintaan dari wakil raja Portugis di Goa, Peter da Silva yang menghendakinya untuk ikut dalam lawatan persahabatan dengan sultann Iskandar Tani di Aceh pada tahun 1638. Dionisius akan menjadi navigator dalam pelayaran sekaligus bapak rohani bagi para delegasi Portugis yang ingin memperbaiki relasi dengan Aceh. Karena pada saat sultann Iskandar Muda menjabat, terjadi perselisihan antara kedua raja ini. Oleh karena perselisihan kedua raja ini, maka mereka bermaksud untuk melakukan kunjungan perdamaian ke Aceh. Kefasihan bahasa Melayu yang dikuasai oleh Dionisius tak diragukan lagi. Maka, pada tanggal 24 Agustus 1638, ia ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Alfonso Mendez.

Beato Redemptus

Sebelum melakukan pelayaran, ia meminta agar bruder Redempthus dari Salib mendampinginya. Bruder Karmelit yang bernama asli Thomas Rodriques da Cunha itu adalah mantan serdadu Portugis yang ditugaskan di Goa. Ia lahir pada tahun 1598 di Paredes-Portugis dan berasal dari keluarga petani miskin yang memeluk erat tradisi kristiani.

Setelah berdinas sekian lama, Thomas mengalami keagamaan dalam hidupnya. Ia terpanggil untuk menjadi biarawan. Padahal kariernya sangat gemilang, menerima pangkat kapten dan komandan pasukan pengawal khusus di Meliapor-India. Akhirnya pada tahun 1615, biara Karmelit Teresa di Goa menjadi tempat berlabuh bagi  jiwanya. Ia menjadi bruder dan bekerja sebagai penjaga pintu biara, pelayan imam, koster, penerima tamu dan mengajar anak-anak. Pribadinya hangat, bersahabat dan suka bercanda.

Maka dari itu Dionisius memilih Redemptus untuk menemaninya dalam misi damai ke Aceh. Apalagi keduanya telah menjadi sahabat akrab ketika dibiara. Permintaan pastor muda ini dikabulkan oleh Redemptus dan mulailah delegasi Portugis berlayar ke Aceh. Mereka berangkat pada tanggal 25 september 1638 dengan satu kapal dagang dan dua kapal perang.

Berubah Haluan

Dionisius menjalani misi ke Aceh bersama Redemptus, beberapa bangsawan Portugis, dua orang Fransiskan, seorang pribumi dan puluhan awak kapal. Redemptus berkelakar dengan beberapa kolega dibiaranya. Ia minta agar mereka melukiskan dirinya; Siapa tahu nanti saya jadi martir, urainya setengah bercanda. Mereka berlabuh di Ole-ole (sekarang Kutaraja) dan disambut hangat oleh penduduk setempat pada tanggal 25 Oktober 1638.

Di balik keramahan penduduk Aceh itu, tersirat niat jahat yang tak disadari oleh delegasi Portugis. Pihak Belanda telah menghasut Sultann Iskandar Tani dan punggawa kerajaan Aceh dengan menyemai fitnah pada delegasi Portugis. Dikatakan bahwa utusan Raja Portugis bukan untuk mempererat tali persahabatan, melainkan membawa misi Kristenisasi.

Mereka diakali dengan tuduhan akan mengubah rakyat Aceh yang sudah beragama Islam agar memeluk agama Katolik. Sang sultan pun sudah termakan oleh hasutan orang Belanda. Akhirnya, misi perdamaian ke Aceh diterima dengan  permusuhan. Seluruh delegasi Portugis segera ditangkap dan dipenjarakan. Mereka disiksa agar menyangkal imannya akan Kristus.

Darah Kemartiran

 Mereka meringkuk dalam penjara dalam kondisi yang mengenaskan selama sebulan. Dionisius dan Redemptus terus berjuang meneguhkan iman dan menghibur saudara-saudaranya. Namun, beberapa dari mereka akhirnya menyangkal imannya akan Kristus dan menjadi Muslim.

 Setelah berbagai cara dilakukan, namun tidaklah berhasil menaklukkan keutuhan iman mereka. Maka, sultan Iskandar Tani mengeluarkan maklumat untuk menghukum mati para tawanan itu. Mereka pun harus dibunuh, bukan karena berkebangsaan Portugis, tetapi karena mereka berkeyakinan Katolik. Perintah eksekusi yang akan digelar dipesisir pantai itu diterjemahkan oleh Dionisius kepada teman-temannya.

Sebelum aksi bengis para serdadu dimulai, mereka berdoa. Dionisius mengambil salib dan memperlihatkan kepada mereka agar jangan mundur. Ia mohon ampun pada Tuhan dan menerimakan absolusi pada teman-temannya satu per satu. Pembantaian masal ini terjadi pada tanggal 29 November 1638. Redemptus ditusuk dengan tombak dan lehernya disembelih dengan keji.

 Pada saat teman-temannya mati satu persatu, Dionisius masih tetap bersaksi tentang Kristus dengan penuh semangat.  Para serdadu makin naik pitam dan beringas. Menjelang tiba giliran Dionisius, para eksekutor hanya terpaku tak berdaya di hadapannya. Keganasan mereka seolah-olah tertahan dengan kekuatan mahadahsyat yang melingkupi imam muda itu. Tak seorang serdadu pun yang berani menyentuh dan mengeksekusinya.

Mendengar laporan mengenai itu, sultan segera mengirim bala bantuan. Saat itulah Dionisius berdoa agar Tuhan berkenan menjadikannya martir. Keinginan hatinya pun terpenuhi. Dengan tenang ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada para serdadu. Dengan segera, sebuah gada melekat dikepalanya, dan disusul sebilah pedang yang menebas lehernya. Kepalanya pun menggelinding terpisah dari raganya.

Keajaiban Tuhan dan Proses Beatifikasi

 Usai pembantaian, jenazah keduanya masih tetap utuh selama tujuh bulan. Jasad keduanya pun tetap segar dan tak sedikitpun membusuk. Konon banyak orang kebingungan dengan kedua jenazah ini. Sebab, ketika dibuang, jasad keduanya selalu kembali ketempat dimana mereka dibunuh.

 Lalu kedua jenazah ini dimakamkan secara terhormat di pulau Dien atau pulau buangan. Pada akhirnya kedua jenazah ini dibawah kembali ke Goa-India dan disemayamkan di sana. Selang 260 tahun lebih, pengorbanan kedua anggota Karmel Teresia dari Yesus ini, diakui oleh Takhta Suci. Pada tanggal 10 Juni 1900, Paus Leo XIII, menyematkan kepada keduanya gelar Beato. Dua martir Aceh ini diperingati setiap tanggal 29 November.

Martir yang Perkasa

 Martir adalah orang yang dibunuh oleh karena mempertahankan imannya akan Kristus. Bagi orang kristen, menjadi martir adalah hal yang sangat luar biasa dalam hidupnya. Apa lagi seorang yang dipanggil untuk bekerja diladang Tuhan. Menjadi martir berarti orang yang ingin dan siap mati demi Kristus. Martir yang baik adalah orang yang mau berjuang demi sesama dan Tuhan.

Martir tidak sekadar ingin dibunuh oleh karena mempertahankan iman akan Tuhan, tetapi benar-benar dari kesadaran akan kehadirannya bagi sesama. Dalam kehidupan kita setiap hari, kita pun diajarkan dan dilatih untuk menjadi martir-martir masa kini.

Kalau dulu, para martir merelakan nyawanya dibunuh karena iman akan Kristus, tetapi sekarang kita dapat menjadi martir untuk diri sendiri dan sesama. Dengan berbagai profesi yang kita jalani setiap hari, kita dapat berjuang dan bekerja untuk sesama dengan sepenuh hati untuk kepentingan umum, diluar kepentingan pribadi atau golongan. Di mana pun, kapan pun kita berada, kita adalah martir-martir masa kini yang siap menjadi penolong bagi sesama.

Martir mengambil bagian dalam penderitaan Kristus yang tersalib. Kenyataan ini mengacu pada para martir dahulu yang dibunuh, yang sebagian besar adalah para pengikut Kristus. Orang-orang ini mengambil bagian bukan secara langsung, tetapi secara diam-diam dan bahkan secara tak sadar mereka dibantai dan diperlakukan tidak adil oleh penguasa jaman itu.

Keutuhan mereka untuk mempertahankan iman mereka akan Tuhan, sangatlah baik dan berlansung dengan kegembiraan yang meluap-luap. Ada yang menghadapi kematiannya dengan senyuman, walapun diperlakukan dengan tidak manusiawi. Keutuhan seperti ini sangat sering dibuat oleh mereka. Sebab prinsip mereka adalah lebih baik mati demi Kristus dari pada menyangkal Kristus. Suatu iman yang sangat teguh yang dibuat oleh para martir dahulu yang sampai sekarang sudah sangat jarang dilakukan oleh pengikut-pengikut Kristus lainnya. Kesetiaan akan panggilan Tuhan, membuat mereka merasa bahagia walau dibunuh dan di siksa.

Kemartiran ini, meninggalkan kenangan bagi para pengikut Tuhan lainnya dimasa sekarang. Bagi umat Allah juga mendapat kesempatan untuk mengenal orang-orang kudus yang ada dalam Gereja Katolik. Begitu banyak orang kudus dalam Gereja yang mati karena dibunuh. Selebihnya mereka yang memiliki kebaikan dan kebajikan yang dianggap baik untuk perkembangan iman umat Katolik dikemudian hari. Semoga dengan semangat kemartiran yang telah ditanamkan oleh beato Dionosius dan Redemptus ini dapat mendorong kita agar dapat menjadi martir-martir di zaman modern ini, yang senantiasa cinta akan kebenaran dan selalu berlaku adil terhadap sesama serta menghargai kelemahan dan kelebihan orang lain dan selalu menjunjung tinggi kedamaian dalam hidup.

Santo Louis Martin & Santa Marie-Azelie Guerin

Keluarga kristiani sejati adalah keluarga yang selalu menempatkan Allah di tengah-tengah kehidupan mereka dan mampu membawa anggota keluarganya kepada kekudusan. Mereka selalu mengutamakan kehendak Allah dalam segala sesuatu yang mereka lakukan. Mereka sadar bahwa panggilan kepada kekudusan adalah panggilan untuk semua orang. Tidaklah mengherankan jika keluarga seperti ini akan dapat melahirkan orang-orang kudus.

Pasangan Louis Martin dan Marie-Azelie Guerin adalah teladan bagi pasangan kristiani. Mereka mampu membuktikan bahwa kekudusan dalam hidup berkeluarga sangatlah mungkin terjadi, meskipun mereka masih hidup di tengah-tengah berbagai kesulitan dan penderitaan. Mereka selalu menempatkan Allah dalam kehidupan rumah tangganya. Mereka mendidik anak-anaknya dengan penuh tanggung jawab dan menanamkan benih-benih iman kristiani kepada anak-anaknya sejak mereka kecil. Jerih payah mereka ini pun akhirnya membuahkan hasil yang baik. Salah seorang anaknya itu Theresia, telah menjadi orang kudus besar yang di kenal dengan nama St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus dan dari wajah Kudus atau St. Theresia dari Lisieux. Bahkan mereka sendiri kini telah menjadi seorang Santo dan Santa.

Riwayat Hidup Louis Martin dan Zelie Guerin

Louis Joseph Aloys Stanislaus Martin lahirpada tanggal 22 Agustus 1823 di Bordeaux, Gironde Perancis. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Pierre francois Martin dan Marie Anne Fanie Boureau. Ayahnya adalah seorang tentara militer. Setelah menyelesaiakan pendidikannya, ia tidak memilih karir di dunia militer seperti ayahnya, namun ia memilih seperti seorang pembuat jam. Pada tahun 1842 ia mulai belajar membuat jam di Rennes Inggris. Di sana ia tinggal dengan sepupu ayahnya Louis Bohard. Bulan November 1850, Louis mendirikan sebuah toko pembuat jam dimana toko yang didirikan itu adalah ”Reu du Pont Neuf” di Paroki St. Pierre de Monsort, Alencon.

Marie-Azelie Guerin dilahirkan di Gandelain, dekat St. Denis-sur-Sarthon,
Orne, Perancis, pada tanggal 23 Desember 1831. Zelie adalah putri kedua dari pasangan Isidore Guerin dan Loise Jeanne Mace. Sehari setelah kelahirannya, ia dibaptis di Gereja St. Denis sur-Sarthon. Ayahnya adalah seorang tentara kerajaan. Tahun 1844 ayahnya pension dan seluruh keluarganya pindah ke Alencon. Zelie mempunyai seorang kakak perempuan bernama Marie-Louise yang usaianya dua tahun lebih tua darinya. Kakaknya ini menjadi seorang suster Visitasi di Le Mans, suster Marie-dosithee. Selain itu ia mempunyai seorang adik laki-laki bernama Isidore yang usianya terpaut sepuluh tahun darinya.

Kehidupan Perkawinan Louis dan Zelie

Louis dan Zelie bertemu pertama kali di jembatan St. Leonard pada bulan April 1858. Jembatan ini sering dilalui oleh Zelie. Suatu hari Zelie melintasi jembatan tersebut dan berpapasan dengan Louis. Zelie sangat terkesan dengan penampilan Louis, seorang pemuda yang mencerminkan sikap dan martabat seorang bangsawan. Lalu Zelie mendengar suara di dalam hatinya, “inilah ia yang kusediakan bagimu”. Louis dan Zelie akhirnya berkenalan dan dengan cepat mereka dapat saling mencintai dan menghargai satu dengan yang lainnya.

Tiga bulan setelah pertemuan mereka, Louis dan Zelie memutuskan untuk menikah. Pada tanggal 12 juli 1858, jam 10 malam, Louis dan Zelie menikah di catatan sipil. Dua jam kemudian pada tengah malam 13 juli 1858, mereka mengucapkan janji setia pernikahan di Gereja Notre-dame di hadapan Pastor Hurel, Pastor paroki St. Leonard.

Kehidupan perkawinan yang mereka jalani berbeda dengan kehidupan perkawinan pada umumnya. Karena Louis dan Zelie dulu pernah berkeinginan untuk menjalani kehidupan membiara, maka mereka sepakat untuk tetap mempertahankan kemurnian mereka bagi Tuhan. Selama sepuluh bulan mereka menjalani kehidupan perkawinan yang seperti ini. Kemudian karena bapa pengakuan mereka menyarankan, mereka memperhatikan panggilan mereka sebagai orang tua, maka Louis dan Zelie mengubah pandangan mereka. Merekapun hidup layaknya pasangan suami istri pada umumnya dan memutuskan untuk memiliki anak. Perkawinan mereka dikarunia sembilan orang anak, walaupun hanya lima anak yang dapat bertahan hidup dan kelimanya menjadi suster.  Kesembilan anak mereka adalah:

  1. Marie-Louise (22 Februari 1860–19 Januari 1940), kemudian menjadi seorang suster Karmelit di Lisieux dengan nama biara Suster Maria dari Hati Kudus Yesus.
  2. Marie-Pauline (7 September 1861–28 Juli 1951), kemudian menjadi Suster Karmelit di Lisieux dengan nama biara Muder Agnes dari Yesus.
  3. Marie-Leoni (3 Juni 1863–16 Juni 1941), kemudian menjadi Suster Visitasi di Caen dengan nama biara Suster Francoise-Therese.
  4. Marie-Helene (3 Oktober 1864–22 Februari  1870).
  5. Marie-Joseph (20 September 2866–14 Februari 1867).
  6. Marie Jean-Batiste (19 Desember 1867–24 Agustus 1868).
  7. Marie Celine (28 April 1869-25 Februari 1959), menjadi seorang Suster Karmelit di Lisieux dengan nama biara Suster Genoveva dari Wajah Kudus.
  8. Marie Melanie Therese (16 Agustus 1870–8 Oktober 1870).
  9. Marie Francoise Therese (2 Januari 1873–30 September 1879), kemudian menjadi seorang suster di Lisieux dengan nama biara suster Theresia dari Kanak-Kanak Yesus dan dari Wajah Kudus, dikanonisasi tahun 1925.

Louis sangat gembira dengan kelahiran anak-anaknya. Namun, ia juga mengalami kesedihan karena tiga dari anaknya meninggal sewaktu masih bayi. Kesedihan terbesar adalah saat kematian Helen yang baru berusia lima tahun pada 22 Februari 1870. Louis merasa hatinya sangat hancur dan bertahun-tahun ia sering meratapi kematian anaknya ini.

Karena sibuk dengan usaha yang dijalani itu, maka ia mengambil keputusan untuk lebih banyak menggunakan waktu kerjanya untuk bersama-sama dengan anak-anaknya. Supaya lebih dekat dengan anaknya, Louis memberikan julukan kepada masing-masing anaknya. Marie adalah permatanya, Pauline adalah mutiaranya, Celine adalah pemberani dan malaikat pelindung, sedangkan Theresia adalah ‘ratu kecilnya’. Selain mengurus keluarga dan usahanya, Louis bergabung dengan komunitas St. Vincentius a Paulo dan mengurusi adorasi malam hari kepada Sakramen Maha Kudus. Zelie bergabung dalam ordo ketiga  Fransiskan dan sering mengunjungi orang-orang sakit dan miskin. Louis dan Zelie adalah pasangan yang terkenal aktif dalam berbagai kegiatan di parokinya. Mereka tak segan-segan memberikan pertolongan kepada mereka yang memerlukan. Di tahun 1865, Zelie divonis dokter terkenal kanker payudara dan Pada tanggal 28 Agustus 1877, pukul setengah dua belas malam, Zelie meninggal dunia. Sebelum ia meninggal kata-kata terakhirnya dan di dalam doanya adalah “Jika Tuhan ingin menyembuhkan saya, saya akan bahagia, karena jauh dari lubuk hati, saya ingin hidup. Rasa sakit saya adalah meninggalkan suami dan anak-anak saya. Namun jika saya tidak sembuh, itu mungkin karena saya akan lebih berguna jika saya pergi.” Setelah kematian Zelie, Paulina, Marie, Theresia dan Celine menjadi biarawati Karmelit satu demi satu bersama dengan sepupunya, Marie Guerin. Sedangkan Leonie menjadi suster Visitasi setelah sebelumnya mencoba menjalani kehidupan religius di biara St. Klara.

Setelah kematian Zelie, kurang dari tiga bulan Louis dan kelima anaknya pindah ke Les Buissonnets di Lisieux, Supaya dekat dengan kakak iparnya, Isidore Guerin dan Istrinya. Louis tetap tinggal di Alencon selama dua minggu sampai rumah dan usahanya terjual.

Pesan Bagi Keluarga Modern

Cinta itu sabar, cinta itu murah hati, cinta itu tidak cemburu, cinta itu tidak memegahkan diri dan tidak sombong dan cinta kasih itu tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, ia tidak pemarah dan juga tidak menyimpan kesalahan dan dendam kepada orang lain, kata St. Paulus di dalam surat-suratnya.

Louis dan Zelie menjadi contoh dan teladan cinta dalam jalan kekudusan bagi kehidupan rumah tangga di jaman modern ini. Di dalam cinta kasih, kesetiaan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai cobaan hidup adalah kunci utama bagi kedua pasangan ini. Lakon hidup mereka setiap hari sungguh memperlihatkan upaya mereka untuk selalu menyenangkan Tuhan. Di mana dalam kehidupan harian, mereka selalu memperhatikan dan menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan dari mereka.

Mereka mendidik anak-anaknya dengan penuh rasa tanggung jawab dan dengan cinta mengajarkan untuk selalu berbuat baik, rajin berdoa dan selalu bersyukur atas setiap anugerah yang diberikan Allah kepada mereka. Keluarga Martin memberikan teladan hidup, kekuatan, penyegar dan orientasi kepada keluarga modern ini untuk mampu menghadapi setiap gempuran sekularisasi dalam hidup rumah tangga.

Louis dan Zelie mengajak keluarga modern untuk selalu melihat terang di dalam kegelapan, menemukan harapan dalam setiap penderitaan hidup dan selalu memurnikan janji perkawinan mereka sebagai hadia dan anugerah dari Allah yang suci. Sebagai anggota keluarga kristiani yang sejati harus mampu menerima segala sesuatu dalam setiap tragedi yang terjadi dalam hidup. Tidaklah semudah untuk menjalani panggilan hidup berkeluarga, sebab dalam dan apa pun panggilan hidup yang kita pilih semuanya mempunyai kisah dan maknanya tersendiri. Satu kalimat yang harus di ingat bahwa ”Cinta memang indah tapi kehilangan sebuah cinta itulah yang menyakitkan”. Kehidupan sebuah keluarga modern di era globalisasi yang selalu menampilkan gaya yang berbeda dari waktu ke waktu yang sangat mempengaruhi dan menampilkan jalan cerita hidup yang berlawanan atau bertentangan dengan hidup kristiani seperti keluarga kudus yang di bentuk oleh sebuah keluarga kecil dari Nazareth yang hidup dalam kesederhanaan apa adanya.