*San Juan de la Cruz: Peziarah di Jalan Malam Gelap Menuju Allah* Sebagai seorang karmelit OCD, saya ingin berbagi refleksi hari ini dalam terang spiritualitas Bapa Pendiri Ordo, sekaligus rekan Santa Teresa dalam pembaharuan hidup Karmel dalam sejarah Gereja dan Ordo kami. Melalui cara sinis saya mengajukan pertanyaan awal: Benarkah pada zaman ini terjadi kegelapan spiritualitas di tengah kegemerlapan warna-warni produk teknologi? De facto, di satu pihak martabat manusia digerus oleh tawaran teknologi tanpa roh dan orientasi. Relasi menjadi kaku dan terbatas pada pesona materialistik dari produk teknologi itu sendiri. Sementara di lain pihak teknologi justru menjadi populer karena mendapat ruang untuk mendayakan spiritualitas para penggunanya. Teknologi berwajah ganda: di ruangan rohani ia tampil saleh dan akrab dengan kekudusan, di ruangan sekuler ia tampil liar menggoda dan akrab dengan hasrat dan birahi kekuasan, kenikmatan serta kekayaan.
Di suatu masa, pada abad keenam belas, Spanyol mengalami ‘siglo de oro” (zaman emas). Negara ini baru saja membebaskan diri dari pendudukan Arab, dan Amerika ditemukan oleh pelaut-pelautnya. Guru rohani terkenal ialah S. Ignasius dari Loyola (+ 1556), S. Teresa dari Avila (+1582) dan S. Yohanes dari Salib (+ 1591). Ignasius adalah pendiri Serikat Yesus, sedangkan kedua tokoh lainnya membaharui Ordo Karmelit, yang didirikan pada abad kedua belas di Gunung Karmel (Israel). Gunung ini dianggap tempat Nabi Elia menghabisi nabi-nabi dewa Baal dan juga tempat Santa Maria dipilih sebagai Ibu sekaligus Ratu para karmelit. Kerohanian para tokoh spiritual ini dapat meredam gejolak liar perkembangan teknologi masa itu. Kini, kita bisa mendayakan spritualitas mereka untuk mengevaluasi setiap tawaran teknologi virtual dalam “aula magnum” (ruang besar) keagamaan kita. Salah satu yang mau kita renungkan bersama adalah figur santo Yohanes dari Salib.
Yohanes dari Salib bersama Teresa adalah pendiri Ordo Karmelit Tak bersepatu (OCD). Yohanes ialah seorang penyair dalam bahasa Spanyol yang klasik, psikolog berbakat alamiah, dan “ahli kehidupan rohani” yang mengungkapkan pengalamannya dalam bahasa puitis. Bersama Teresa, Yohanes adalah seorang raksasa dalam sejarah spiritualitas Kristen. Ia menggabungkan tradisi Gregorius dari Nyssa, Dionysius, Agustinus, Bernardus, Richardus dari St. Victor, Ruysbroeck dan bahkan Thomas a Kempis. Ia juga sangat mendalami Alkibat: “Jika kita memakai Kitab Suci sebagai petunjuk, kita tidak tersesat” Kata Yohanes .
Santo Yohanes menekankan pembersihan, yang meliputi penerangan waktu mengalami “malam gelap”. Lalu, pertunangan dan yang ketiga pernikahan rohani. Sama seperti pada para guru rohani lainnya pada abad itu, *bridal mystics* (pengantin mistik) Yohanes sangat kuat. Persatuan dengan Tuhan berdasarkan keserupaan antara Sang Pencipta dan manusia, yang diciptakan sebagai “citra Allah”. Seluruh hidup kita adalah suatu proses *transformacion en Dios* (transformasi dalam Tuhan): Tuhan terus membentuk manusia supaya ikut membentuk diri sesuai cita-cita ilahi tentang dia itu. Dalam proses itu ‘aku percaya akan Tuhan” menjadi “aku mempercayakan diri kepada Tuhan”. Sikap inilah yang menjadi dasar persahabatan denganNya. Pandangan ini mengingatkan kepada pembedaan yang diadakan S. Irenius pada abad kedua: yakni antara kodrat kita sebagai “citra Allah”, yang selalu terdapat pada kita, dan keserupaan dengan Tuhan, yang selamanya disempurnakan oleh rahmat. Hidup rohani bagaikan upaya menjernihkan cermin yang buram ini pada jiwa kita.
*Empat nafsu alamiah melewati malam gelap* Ada empat nafsu alamiah yang dimiliki manusia: kegembiraan, harapan, ketakutan dan rasa ngeri. *Pertama* , kegembiraan. Dalam tulisan San Juan kegembiraan itu diucapkan dalam berbagai kata “alegria” /kebahagiaan(70 kali), “contento”/puas (90 kali), “fiesta”/ pesta (27 kali), “recreaciones” / rekreasi (65 kali), “regalo” / hadiah (110 kali), “ventura” /keberuntungan (120 kali), “deleite”/ kesenangan (450 kali), “gozo” /sukacita (700 kali), “boda-esposos”/pengantin (804 kali). Kata-kata yang bernada gembira ini berasal dari dua pengalaman riil yang dilaluinya: Saat ia menjadi bagian dari keluarga: seorang anak yatim sejak kecil, tetap gembira walaupun miskin selama ia hidup bersama ibu dan saudara-saudaranya. Dan saat ia menjadi biarawan: gembira menjalani janji religiusnya dan pengalaman penganiayaan di dalam penjara, serta salib hidup yang dideritanya baik secara fisik maupun batiniah.
*Kedua* , harapan. Dalam bukunya Malam Gelap, Yohanes menulis ” *la esperanza de Dios dispone puramente a la memoria para unirla con Dios* “: pengharapan kepada Tuhan menyiapkan secara murni memori untuk bersatu dengan Tuhan (Malam Gelap 1,21,11). Pengharapan dilalui dalam malam gelap/kelam. Malam adalah media transit jiwa menuju persatuan dengan Tuhan (S 1,2,1). Selama transit inilah jiwa menaruh pengharapan agar kesalahan-kesalahan, ketidaksempurnaan, nafsu, rasa bersalah, kelalaian yang telah menodai jiwa (S3,3,2) dimurnikan dan ditempatkan dalam keteraturan.
*Ketiga* , ketakutan. Dalam psikologi, salah satunya teori Spielberger, mengatakan bahwa rasa takut adalah kondisi cemas (state anxiety), yaitu keadaan emosional temporal pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan kuatir yang dihayati secara sadar dan bersifaf subyektif. Ini berkaitan dengan situasi lingkungan khusus. Sementara secara teologis, rasa takut adalah salah satu dari tujuh karunia Roh Kudus. Ketakutan ini berhubungan dengan pengharapan, kasih dan ketahanan. Dalam kehidupan rohani yang sehat dapat dirumuskan demikian ‘karena cinta akan Tuhan, kita merasa takut, dan karena kita takut maka kita harus mencintai Tuhan”. Dari sisi Yohanes ia menguraikan secara singkat dalam kalimat berikut,: “demikian, ketika jiwa tiba pada kesempurnaan roh cinta, ia berada dalam kesempurnaa roh cinta, karena rasa takut itu (yang adalah karunia terakhir dari tujuh karunia) adalah turunan, maka ketakutan sempurna dari anak datang dari cinta sempurna Sang Bapa, demikian, ketika Kitab Suci memanggil seseorang pada kesempurnaan kasih, dipanggilnya juga untuk takut kepada Tuhan” (Kidung Rohani, 26,3).
*Keempat* , rasa ngeri. Perasaan ini sesungguhnya akibat dari rasa takut. Ada dua hal yang dapat dipahami secara sederhana: rasa takut karena melihat sesuatu yang menakutkan atau mengalami keadaan yang membahayakan, atau secara rohaniah, munculnya rasa takut karena melihat karya Allah yang sangat menakjubkan dalam kehidupan riil. Rasa ngeri rohani dalam versi Yohanes bisa menimbulkan rasa asing dan terpisah dari Allah. Dia seakan tidak ada, sehingga orang yang mengalami itu tidak sanggup berdoa lagi dan tidak mampu mengerjakan kewajiban-kewajibannya yang biasa. Mungkin Yesus mengalami malam seperti itu waktu menjerit di salib “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan daku?” Mengapa rasa ngeri itu terjadi dalam malam kelam/gelap. Yohanes dari salib menjawabnya: “pertama ialah, bahwa kebijaksanaan ilahi begitu mulia sehingga melampaui kemampuan jiwa, dan karenanya bercorak gelap baginya. Kedua, karena keburukan dan kenajisan (jiwa) itu sendiri, sehingga (kebijaksanaan ilahi) dirasa sebagai derita dan siksaan. Dan itu menambahkan kegelapan juga”.
*Jalan damai*
Kermpat perasaan/ nafsu alamiah itu perlu disesuaikan sehingga menghasilkan banyak hal baik dan pahala serta keutamaan-keutaman besar dalam kehidupan rohani. Pilihan santo ini, terutama dalam seluruh gerak rohaninya adalah Mendaki Gunung Karmel dalam Kegelapan Malam. Ia berani menerobos tantangan yang sulit dan aneh.
Di pendakian ini ia ” *volar en libertad”* (terbang dalam kebebasan) dan sungguh-sungguh menikmatinya karena semua nikmat itu datang dari Tuhan. Ia lelah, tapi bertahan. Bagi dunia, ini adalah “mission impossible”. Tetapi kepada dunia ia ingin menunjukan bahwa misi indera-inderanya itu pasti tuntas dan berhasil karena Allah menantinya di puncak gunung Karmel.
Kita simak pilihannya itu:
“`Selalu berikhtiar supaya cenderung bukan kepada yang lebih mudah, melainkan kepada yang lebih sulit, bukan kepada yang lebih enak, melainkan kepada yang kurang enak, bukan kepada yang lebih menggembirakan, melainkan kepada yang menyedihkan, bukan kepada yang gampang, melainkan kepada yang lebih susah, bukan kepada yang menyenangkan, melainkan kepada yang menyedihkan, bukan kepada yang lebih, melainkan kepada yang kurang, bukan kepada yang lebih tinggi dan berharga, melainkan kepada yang kurang berarti dan tidak begitu berharga, bukan untuk menyayangi sesuatu, melainkan untuk tidak menyayangi apa-apa, jangan mengejar yang fana yang nampak paling baik, melainkan yang kurang baik, dan demi Kristus menginginkan, supaya mengalami ketelanjangan, kehampaan serta kemiskinana akan segala sesuatu yang ada di dunia ini (Mendaki Gunung Karmel, Buku 1, bab 13 ayat 6). “`
*Kata akhir*
Benar, di jaman ini terjadi kekelaman spiritualitas bagi sebagian pemasok teknologi modern. Ini terjadi karena tanpa discernment nilai-nilai dari produk-produk tersebut. Sementara di sisi lain, kegelapan justru terjadi kerena spiritualitas tidak dihayati sebagai “nafas” atau jiwa yang berkualitas, melainkan branding entertainment untuk kepuasan rohani temporal dan afirmasi kesalehan sosial. Nun jauh di zaman Santo Yohanes, ia sudah menulis untuk mendekati kita di periode ini bahwa Tuhan adalah makanan dan minuman, sumber makanan sesungguhnya dari jiwa, satu-satunya yang memberi kepuasan dalam hidup dan memenuhi kelaparan kita. Dalam bahasa metaforis, jika tubuh itu adalah jiwa maka makanan dan minuman yang kita konsumsi pun berlaku untuk keduanya. Kalau tubuh demi kesehatan sangat membutuhkan asupan bergizi dan cukup maka jiwa pun demikian, Jika tubuh demi kesehatan perlu “program diet” maka jiwa pun demikian. Bagi San Juan diet yang sejati adalah berhenti mencari kepuasan tubuh melalui sarana rohani, tetapi memulai mencari Tuhan sebagai sumber di mana Ia sendirilah yang mengatasi proses nutrisi jiwa> Tuhan tahu makanan mana yang cocok untuk setiap jiwa” . Pesannya untuk zaman ini:“`
“`Untuk menikmati semuanya, janganlah mencari kenikmatan dalam hal apa pun, untuk memiliki semuanya, jangan mau memiliki sesuatu apa pun. Untuk menjadi semuanya, berusahalah untuk tidak menjadi apa-apa. Untuk mengetahui semuanya, berusahalah supaya tidak mengetahui apa-apa. Untuk memperoleh yang belum dinikmati, carilah tempat kosong di mana tidak terdapat apa yang dapat dinikmati. Untuk mendapat apa yang belum diketahui, pergilah ke tempat kamu tidak tahu apa-apa. Untuk mendapat yang belum dimiliki, pergilah ke tempat di mana kamu tidak dapat mempunyai apa-apa. Untuk menjadi apa yang engkau belum jadi, pergilah ke tempat kamu tidak bisa menjadi apa-apa. Cara bagaimanakah kita tidak menghalangi semuanya: kalau engkau masih terlibat dalam sesuatu, tak pernah engkau memperoleh seluruhnya, untuk mendapat keseluruhan secara utuh seluruhnya harus dilepaskan sama sekali. Bila sampai memegang keseluruhannya, maka peganglah tanpa ingin memilikinya. Sebab, kalau hanya sedikit saja dari keseluruhan dipegang teguh, engkau tidak mendapat Tuhan saja di antara apa yang bernilai bagimu”“`
(Subida del Monte Carmel, I bab 13 no. 11 dan 12) “`
P. Abdul Ocd
*Sumber* : A. San Juan de la Cruz, Obras Completas, Monte Carmelo, Burgos, 2011 B. A. Heuken SJ, Spiritualitas Kristiani, Pemekaran hidup rohani selama dua puluh abad, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2002, hal. 141- 146 Eulogio Pacho (dir), Diccionario de San Juan de la Cruz, Monte Carmelo, Burgos, 2000 Michael Downey (Ed), The New Dictionary of Catholic Spirituality, Theological Publications In India, Bangalore, 1995
SERI KARMELITANA:
YOHANES DARI SALIB: MEDITASI DAN KONTEMPLASI https://s.docworkspace.com/d/AOIgFyfZq5AKgNPK1qCdFA
YOHANES DARI SALIB: PRAKTIK ASKESE https://s.docworkspace.com/d/AM9s3BjZq5AKwKX7kaGdFA